45b. Tidak Bisa Pulang (2)

207 60 8
                                    


Kening Damang Batu kembali berkerut. Untuk sesaat, mulutnya tetap terkatup. Baru setelah menghela napas panjang, sang Damang kembali bersuara, "Setelah mendapat beras itu, datangi saya di Tumbang Anoi. Saya punya sesuatu untuk membantu kalian. Selama ini, saya menggunakannya untuk pergi dengan cepat ke daerah sekitar sini. Nah, kalian bukan hanya akan pergi ke daerah lain, tapi ke masa depan. Kita membutuhkan bantuan beras itu sebagai penunjuk jalan."

"Hanya beras saja syaratnya, Damang?" tanya Deka. Ia mulai was-was bila harus mengumpulkan barang-barang menyeramkan seperti dalam ritual-ritual ilmu hitam.

"Ada satu lagi," balas Damang Batu. "Untuk meningkatkan kekuatan, kita harus memilih waktu paling baik, yaitu saat bulan purnama."

Deka mengangguk. Bagi sebagian kalangan paranormal, bulan purnama memang dianggap memperbesar kekuatan spiritual. "Masih lamakah?"

"Sebentar saja. Tinggal tujuh malam lagi. Sementara menunggu waktu itu tiba, kalian bisa beristirahat di sana."

Bahu Deka kontan melorot. Tujuh malam dikatakan sebentar? Aduhai, betapa berbeda persepsi waktu orang zaman ini dengan zamannya!

"Kapan rapat damai itu?" tanya Deka lagi.

"Sepuluh hari lagi."

"Sayang sekali, kami tidak bisa menyaksikan rapat itu," ucap Urai.

Damang Batu meramu segumpal sirih sambil melirik Urai. "Kamu pasti tahu hasil rapat itu. Apakah rapatnya berlangsung lancar?"

Urai mengangguk. "Lancar, Damang."

"Apakah hasilnya berguna bagi rakyat Dayak?" tanya Damang lagi.

Urai kembali mengangguk. "Sangat berguna. Sejak rapat damai itu, suku-suku Dayak bersatu. Perbudakan dihapuskan dan budaya ngayau dihentikan."

Senyum semringah terkembang di raut keriput Damang Batu. "Aha! Saya tidak salah memilih jalan! Kalian tahu, selama ini kita hanya melihat kerajaan Banjar di selatan, kerajaan Kutai di timur, kerajaan Mempawah serta Pontianak di barat. Di mana orang Dayak yang lain?

"Suku-suku pedalaman Kalimantan sebenarnya tidak tunduk pada kerajaan mana pun. Kita berdiri sendiri-sendiri di desa-desa dan dusun-dusun. Mungkin karena itu kita tidak terlihat sebagai suku yang besar. Dengan rapat damai itu, saya ingin Dayak bersatu dan diakui sebagai suku yang besar."

"Damang berhasil. Orang-orang bilang rapat damai itu merupakan tonggak kebangkitan kesadaran orang Dayak sebagai satu suku."

"Benarkah?"

Deka mengangguk dengan mantap. "Benar, Damang."

Mata Damang Batu pun bersinar teduh. Senyumnya terkembang dan terlihat bahagia. "Setelah tahu itu, saya bisa meninggal dengan tenang kapan pun."

Urai dan Deka mengangguk. Mereka menyimpan informasi akal-akalan Belanda di dalam hati. Memang benar, Belanda akhirnya mengumumkan bahwa rapat damai itu adalah bukti penaklukan seluruh suku pedalaman dalam kekuasaan mereka. Namun, ada hasil lain yang tak kalah penting yaitu perdamaian dan persatuan seluruh suku Dayak. Sebuah kesadaran jati diri suku Dayak yang tetap dijaga hingga masa kini.

Demi menghormati Damang Batu, Deka dan Urai ikut mengambil daun sirih. Urai sudah pernah melakukannya sehingga tidak kaget lagi. Berbeda dengan Deka. Urai sampai tidak tega melihat junjungannya mengernyit dan mati-matian menahan mual.

Urai berpaling ke pintu dan melihat Jala yang masih berduka dan duduk di ujung haluan. Arwah Nuraini berada di sampingnya, menepuk-nepuk punggung pemuda itu. Sebenarnya sosok Jala dan segala perbuatannya menimbulkan rasa iba. Jala hanyalah pemuda malang yang jatuh cinta pada orang yang salah. Korban bucin.

"Bagaimana nasibnya nanti, Damang?" tanya Urai.

"Anak itu?" Damang Batu menghela napas panjang. "Kesalahannya sangat besar. Menculik istri orang, melakukan upacara sesat, dan membuat sebuah betang dibumihanguskan. Saya tidak yakin bagaimana nasibnya. Biarlah diputuskan oleh sidang adat."

"Semoga keputusan sidang nanti adil bagi semua orang," ucap Deka. Bagaimanapun, ia masih geram pada Jala. Bahkan sekadar menatapnya saja, tangannya gatal ingin meremas-remas muka orang itu.

Salah satu anak buah Damang Batu mendatangi mereka. "Jukung sudah siap, Damang," lapornya.

"Ah, baiklah. Sudah saatnya kalian berangkat. Sebentar lagi gelap," ucap Damang Batu. Ia bangkit, lalu pergi ke pojokan ruang. Di tempat itu terdapat tumpukan lanjung rotan berbagai ukuran untuk menyimpan barang. Damang Batu mengambil sebuah, lalu mengeluarkan isinya.

"Ini kepunyaanmu?" tanyanya pada Urai seraya menunjukkan sebuah tas ransel merah muda.

Wajah Urai seketika semringah. "Itu tas saya!" serunya seraya berdiri dan mengambil ransel itu dari tangan Damang Batu. Saking girangnya, ia langsung membuka ritsleting tanpa ingat mengucapkan terima kasih. Dari dalam ransel, ia mengeluarkan kantong plastik hitam yang menggembung.

"Iniiiiii!"Urai berseru sambil meloncat-loncat kecil. "Kita punya banyak, Kodeka!"

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα