39b. Permohonan Bantuan (2)

207 69 3
                                    

Di atas sampan, Riwut berdiri tanpa gentar menghadang lawan. Ia sudah melalui berbagai pertempuran sehingga mulai memahami diplomasi. Orang-orang Punan adalah pejuang yang penuh harga diri. Melihat lawannya tidak bersenjata, mereka berhenti menyerang.

"Kamu anak pemimpin betang Deong, bukan?" hardik salah satu yang paling senior.

"Ya, itu aku," jawab Riwut.

"Mana penculik itu?" tanya mereka. "Serahkan ke kami!"

"Dia di sana!" Riwut menunjuk Jala yang berlari ke rombongan Silas sambil membawa batang kayu. "Semua ini kesalahpahaman. Kalau tahu dia menculik istri kepala suku kalian, kami tidak akan mengambilnya sebagai budak."

"Ah, dia terlalu cerdik, jangan percaya!" seru seorang Punan yang lebih muda.

"Benar, ringkus saja. Nanti kita adili!" ucap yang lain.

Orang yang paling senior dari keempatnya menghunus mandau. "Serahkan diri, baru kami percaya!"

Tentu saja, Riwut tidak mau menyerah. Sambil membawa dayung, ia meloncat keluar sampan untuk menyusul Deka dan Urai yang lebih dulu melarikan diri ke hutan.

"Dia kabur! Kurang ajar!" seru orang Punan.

"Kejar dan tangkap dia!" perintah pemimpin mereka.

Dua orang Punan memburu Riwut. Dua orang lagi berlari untuk mengejar Jala. Riwut melawan dengan dayung. Menggunakan alat sederhana itu, ia meraup pasir dan menghamburkannya ke para penyerang. Ternyata, gerakan itu bisa dibaca lawan. Mereka melindungi mata dengan tangan. Begitu pasir itu luruh, keduanya menyerang Riwut bersamaan.

Riwut berhasil menangkis terjangan salah satu mandau sehingga senjata itu terlepas dari tangan pemiliknya. Namun, rekannya segera menyerbu. Kali ini, tangkai dayung Riwut tidak sanggup menahan serangan kedua dan langsung patah.

Tahu nyawanya terancam, Riwut lari menghindar sambil memungut mandau yang terjatuh di pasir. Salah satu prajurit Punan berhasil mengejar dan segera mengayunkan senjata. Riwut menangkisnya. Dua mandau itu beradu sangat keras hingga menimbulkan percikan api.

Urai yang tengah ditarik Deka ke arah hutan, menoleh saat mendengar teriakan-teriakan Riwut.

"Riwut!" pekik Urai saat melihat pemuda itu dikeroyok dua orang. Ia merebut talawang dari tangan Deka, lalu berlari secepat kilat ke tepi sungai.

"Rai, Rai!" teriak Deka. Ia berusaha menahan tangan Urai, namun gadis itu melesat pergi dengan sangat cepat sehingga tangannya hanya menggenggam udara. Mau tak mau, Deka mengejar Urai ke tepi sungai.

Saat Urai sampai di tempat Riwut bertempur, pemuda itu tengah sibuk menangkis serangan salah satu prajurit Punan. Ia tidak melihat seorang lagi mengayunkan belati ke pinggangnya.

"Aaaaaaaa!" Urai memekik sambil memukul kepala pemilik belati dengan talawang. Saking kerasnya benturan, talawang retak. Orang itu langsung ambruk, tak sadarkan diri.

Melihat temannya dilumpuhkan Urai, orang Punan yang satu lagi meradang dan mengayunkan mandau ke arah gadis itu. Deka bergerak cepat, menarik tubuh Urai ke belakang. Sedangkan Riwut, menangkis serangan mandau hingga benda itu terpelanting jauh. Orang itu menyerang lagi sambil menghunus belati, namun Riwut lebih cepat. Dengan meloncat, diarahkannya tendangan ke kepala lawan. Orang itu tidak sempat mengelak dan langsung terjengkang.

"Cepat ke jukung, mumpung yang lain sedang bertempur!" Riwut menarik tangan Urai dan mengajaknya berlari ke sampan. "Lindungi kami dengan talawang, Deka!"

Deka merana melihat gadisnya dibawa lari Riwut. Namun, ia tak bisa berbuat lain kecuali membuntuti mereka sambil berlindung menggunakan talawang retak.

Sampai di sampan, Riwut membantu menaikkan Urai dan Deka. "Cepat pergi!" ucapnya.

Urai tertegun. "Kamu harus ikut kami!" pintanya, setengah menangis. Rasa khawatir telah mencengkeram hatinya.

"Tidak. Aku harus menolong Siun." Riwut mendorong sampan sejauh mungkin ke tengah sungai sampai ia harus berenang. Deka mengayuh dayung dan sampan pun melaju ke arah hilir. Untuk keamanan, ia mengambil jalur jauh di seberang tempat pertempuran.

Urai terisak sampai susah bernapas ketika Riwut semakin jauh. Pemuda itu menunggu di tengah sungai. "Riwuuut!" tangisnya. Sekali lagi, ia harus melepas Riwut yang menatapnya sambil tersenyum dan mengangguk kecil, seolah berkata, "Semua akan baik-baik saja."

Ketika akhirnya Riwut berenang ke tepi sungai, ke arah pertempuran, ia tak sanggup menyaksikannya. "Riwut ...." 

Urai ambruk di lantai dan menangis sejadi-jadinya.

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now