19b. Menghindar (2)

237 64 13
                                    

Deka berpindah ke haluan. Kini, satu-satunya kesempatan mereka untuk lolos adalah kelokan di depan. Napas Deka dan Urai terengah. Keringat bercucuran. Bahu dan lengan yang kebas tak dirasakan demi menjaga kepala tetap di tempatnya.

Mereka mendayung sekuat tenaga dan akhirnya sampan mereka berhasil melampaui kelokan. Begitu mereka lenyap dari pandangan musuh, ia segera mengarahkan sampan memasuki jalur-jalur rumit di dalam rawa. Rimbunnya pepohonan dan sulur-sulur rotan dengan mudah menyembunyikan keberadaan mereka, namun sekaligus mempersulit pergerakan.

"Ambil jalur yang lebar saja, Kodeka," kata Urai. "Nanti kita kandas di lumpur kalau airnya terlalu dangkal."

Deka berusaha sebaik mungkin. Mereka melalui jalur yang berkelok-kelok tanpa menimbulkan suara. Beberapa waktu berlalu tanpa tanda-tanda keberadaan musuh.

"Apa kita sudah lolos?" bisik Urai.

"Jangan bicara, tetap mendayung," bisik Jala.

Mereka terus melaju semakin dalam. Apa daya, nasib malang kembali datang. Sampan mendadak tidak bisa maju. Mereka benar-benar kandas di lumpur rawa yang dangkal.

Jala mendesah kesal, namun tidak berani bersuara keras. Deka tahu temannya marah.

"Aku nggak tahu mana yang dangkal," bela Deka.

"Ssst!" Jala menyuruh mereka diam. Dalam suasana lengang, terdengar suara orang membabat perdu dan sulur. Suara itu cukup dekat.

"Kita turun saja dari jukung, lalu lari ke daratan."

"Ke mana arah daratannya?" bisik Urai.

"Ke sana!" Ia menunjuk suatu tempat gelap karena dipadati pohon-pohon besar. Pasti di sana ada tanah kering.

Mereka celingukan sebentar. Setelah merasa semua aman, mereka menurunkan barang-barang. Hanya senjata, yang lain terpaksa ditinggalkan.

Ketiganya turun dari jukung. Air rawa yang berwarna cokelat bening seperti teh, langsung merendam badan mereka setinggi pinggang. Ketiganya bergegas ke arah yang ditunjuk Jala. Pemuda itu seperti memiliki kaki dari kayu, enak saja melintas di lantai rawa yang dipenuhi rumput, akar pohon, dan ranting kayu busuk.

Urai tidak bisa berjalan cepat karena memakai sepatu. Deka yang tidak memakai alas kaki juga ragu melangkah. Ia belum lupa ular rawa yang dilihatnya kemarin. Keduanya segera tertinggal dari Jala.

Jala menoleh. Melihat mereka tertinggal ia menggerakkan tangan, memberi kode agar mereka segera menyusul. Ia kesal juga, teman kotanya ini sama sekali tidak bisa diandalkan. Apalagi si pria yang badan dan mukanya terlalu halus dan mulus untuk ukuran lelaki.

Beberapa waktu kemudian, air semakin rendah dan akhirnya mereka menemukan tanah kering. Cepat-cepat mereka membabat perdu agar bisa lewat. Tahu-tahu, terdengar teriakan orang di belakang mereka.

"Lari! Mereka menemukan kita!" seru Jala.

"Gila, cepat sekali, seperti hantu! Apa sih yang mereka cari?" desah Deka.

Ketiganya lari tunggang langgang menembus kaki hutan yang sama sekali tidak ramah. Beruntung mereka menemukan batang pohon besar yang roboh dan dipenuhi perdu. Ketiganya langsung berlindung di baliknya. Jala segera menyiapkan sumpitan. Tubuh penuh bilurnya merayap di antara tetumbuhan, mencari posisi lawan.

"Hooooi! Orang Iban! Menyerahlah! Kami tidak akan membunuh kalian!" seru salah seorang musuh.

Terlihat dari tempat persembunyian, empat orang bergerak merunduk di sela-sela tetumbuhan. Dua orang memegang panah, sisanya memegang mandau, tombak, dan talawang. Jala ingin membidik, namun posisinya sulit karena terhalang pohon.

"Jala, kenapa mereka mencarimu?" tanya Urai dengan berbisik.

Jala diam dan malah sibuk mengusap sumpitannya. Urai memegang lengannya dan melempar tatapan bertanya. Alih-alih menjawab, Jala malah menepis tangan Urai dan melengos.

"Hoooi, orang Iban! Kembalikan Riun dan kamu kami ampuni!" seru musuh lagi. Kini, sosok-sosok itu tak terlihat. Mungkin mereka juga berlindung agar tidak menjadi sasaran sumpitan.

"Mereka mengejar kita karena Riun, Jala. Kenapa bisa begini? Apa hubungan mereka denganmu?" cecar Urai dengan suara selirih mungkin.

"Kamu harus jujur kepada kami!" Deka ikut mendesak, walau hanya bisa menduga setelah mendengar kata Iban dan Riun.

"Sebenarnya ... Riun dipinang oleh kepala suku mereka. Tapi, kami sudah lebih dulu saling suka. Kami lalu lari ...."

"Lari dari apa? Pesta pernikahan?" tanya Urai lagi.

Jala mengangguk sambil menunduk. Urai mendekatkan mulut ke telinga Deka. "Dia menculik pengantin kepala suku," bisiknya.

Mulut Deka terbuka hendak mengomel, tapi tidak jadi. Tidak ada gunanya marah sekarang. Toh mereka telanjur diburu. Di sisi lain, bila mengkhianati Jala, ia menentang hati nurani.

"Kodeka, kita harus gimana?" bisik Urai.

Keduanya berpaling ke Jala. Penampilannya yang penuh bilur, serta mata kanan yang belum sepenuhnya terbuka karena pelupuknya bengkak memang mengundang rasa iba.

"Aku rasa, kita dikirim ke masa ini untuk menolong dia dan kekasihnya," bisik Urai lagi.

Deka segera mengangguk. "Ah, sudahlah. Ayo, kita harus terus bergerak!"

Ketiga orang itu menyusup dengan perlahan dalam rerimbunan perdu. Tumbuhan yang menutupi kaki hutan itu tidak semuanya bersahabat. Banyak pula yang berduri. Tubuh mereka tanpa ampun tergores-gores.

Musuh rupanya melihat gerakan tetumbuhan itu. Mereka melepaskan sumpitan. Deka dan Jala segera melindungi rombongan dengan talawang. Batang-batang bambu mendesing di sekeliling mereka. Beberapa menancap di ranting dan dedaunan.

Urai tiba-tiba merasa kepalanya menjadi ringan. Lengan kirinya terasa nyeri. Saat dilihat, ternyata ada goresan panjang dan berdarah. Napasnya mulai tersengal, namun ia berusaha melawan semuanya dan terus merayap.

"Rai, lenganmu berdarah!" bisik Deka yang merayap di belakangnya.

"Kena duri," sahut Urai.

☘️☘️☘️

Komen please ....

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang