28a. Minyak Oles

233 66 3
                                    

Urai tidak punya kesempatan untuk berbicara lagi dengan Deka. Setelah mengenakan baju, ia harus mengangkut belanga, kuali, ketel air, mug-mug, dan piring pemberian Tambi Dohong ke sampan. Maklumlah, panci, ketel dan mug mereka tertinggal di tepi sungai saat melarikan diri dari kejaran Marsose.

Tambi Dohong berbaik hati memberikan blus katun berkancing depan tanpa kerah. Potongannya sangat jadul. Lengannya tanpa manset dan panjang sampai pergelangan tangan. Warnanya putih kekuningan. Mungkin sudah terlalu lama teronggok di dalam lemari. Ia juga diberi kutang kain yang diikat menggunakan tali di bagian depan dan celana pendek dari katun sebagai pengganti celana dalam. Walau ukurannya agak longgar, namun pakaian dalam itu membuatnya lebih nyaman. Blus sederhana itu dipadukan dengan kain batik berwarna cokelat. Motifnya seperti batik Jawa. Mungkin Tambi Dohong mendapatkannya dari pedagang yang datang dari Pulau Jawa.

Di atas sampan, ia menemukan Deka dan Jala sudah mengenakan celana pendek dan baju. Rupanya, Bue Dohong juga memberikan baju bekasnya pada kedua orang itu. Ewah mereka yang basah dijemur di dinding bedeng.

Matanya segera berserobok pandang dengan Deka. Sekali lagi, jantungnya memantul-mantul tanpa akhlak di dalam rongga dada. Ia langsung duduk di seberang Deka sambil membuang pandangan keluar. Wajahnya memanas saat teringat kejadian di sungai tadi.

Ia tidak tahu lelaki di seberangnya juga merasa kacau. Rona merah di wajah Deka bahkan menjalar sampai telinga. Urai benar-benar telah menyedot seluruh perhatiannya tanpa disadari.

Tidak ada pembicaraan apa pun antara Deka dan Urai sepanjang perjalanan di sisa hari itu. Deka ikut mendayung, sedangkan Urai berdiam di bedeng. Sesekali saja ia duduk di haluan atau buritan untuk mengusir rasa bosan.

☆☆☆

Matahari yang hampir bersembunyi di ujung cakrawala menyemburkan warna lembayung pada awan-awan di langit. Mereka pun memutuskan menepi di sebuah kelokan yang terlindung, lalu turun ke tanah kering. Di pasir tepian sungai itu, mereka mengumpulkan kayu kering untuk membuat api. Tambi Dohong memberi mereka nasi dan pepes ikan untuk bekal. Keduanya harus dipanaskan agar tidak basi.

Deka, Jala dan Urai masih bertahan di bedeng sampan karena luka-luka mereka belum sempat dirawat. Selain itu, pemandangan sungai saat ini terasa menakjubkan. Cahaya matahari menimpa riak di permukaan air, menimbulkan kerlip yang indah. Sementara itu, hutan di kiri dan kanan sungai membentuk latar samping yang kelam namun anggun. Mereka semakin enggan untuk turun.

Sebagian cahaya sore menerobos masuk ke dalam bedeng, menimpa tubuh ketiganya. Deka sempat terpana saat menemukan pendar keemasan pada sosok Urai yang tengah duduk sambil memeluk kedua tungkai di depan dada. Sontak, ia merindukan ponselnya, ingin mengabadikan lukisan alam itu. Namun, detik berikutnya ia gamang.

Memotret Urai? Buat apa?

"Bagaimana luka kalian?" tanya Jala pada Urai dan Deka, memecah keheningan.

"Yang di lengan sudah mulai kering," sahut Urai. "Oh, aku diberi minyak oles oleh Tambi Dohong." Ia mengeluarkan botol kecil dari lanjung pemberian Tambi Dohong. Luka-lukanya sendiri telah diolesi minyak saat mengganti baju tadi.

"Aku mau minyak itu!" pinta Jala.

"Buka bajumu, aku oleskan," kata Urai. Ia mendekat ke tempat Jala duduk.

"Hei! Biar aku aja." Deka tiba-tiba merebut botol minyak dari tangan Urai.

Urai membiarkannya tanpa perlawanan dan kembali duduk. Dari situ, ia bebas mengamati punggung Deka yang tengah merawat luka-luka Jala.

Semakin diamati, punggung ramping itu selalu menggemaskan. Bahu yang bagi Urai kokoh, berakhir pada tengkuk yang kemerahan terbakar sinar matahari. Potongan rambutnya pendek di belakang dan berponi di depan, model oppa Korea. Sudah berapa lama hatinya tertambat di situ? Kalau tidak salah, telah empat tahun berlalu semenjak pertama kali ia melihat Deka. Waktu itu, ia menemani ayahnya mencari pemasok beras yang bagus di Pasar Kuripan, Banjarmasin. Mereka memilih ruko Deka karena terlihat ramai dan jenis berasnya banyak. Tak disangka, ia menemukan pemilik ruko yang memiliki wajah mulus bak bayi berikut mata bulat dan bibir kemerahan yang menggemaskan. Sejak saat itu, Deka bertakhta sebagai junjungan di hatinya.

"Lukamu sudah diobati?" Deka tiba-tiba membalikkan badan, membuat lamunan Urai berserakan seperti daun kering tertiup angin. Ia cepat-cepat memalingkan wajah. Setelah dikata-katai menyosor pipi tadi, ia terpaksa menyembunyikan perhatiannya pada Deka.

"Sudah. Punyamu belum?" tanya Urai tanpa menoleh.

Deka mengangguk. Ia bisa saja meminta Jala mengoleskan minyak. Namun, badannya bergerak sendiri, memilih duduk di samping Urai, lalu menyerahkan botol minyak padanya.

Urai cepat tanggap terhadap bahasa tubuh itu. "Kamu sendiri yang minta diolesi, ya. Jangan kata-katai aku nyosor!"

Deka kontan manyun. "Iya, iya!"

"Buka bajumu!" perintah Urai.

Deka menurut. Baju atasannya dilepas dan tampak nyata luka dan lebam-lebamnya. Sangat kontras dengan kulit yang kuning terang. Urai ikut ngilu melihatnya.

"Astaga! Bekas gigitan lintahnya membengkak. Jangan-jangan infeksi," ucap Urai. Diambilnya kain lap bersih, lalu dibasahi ramuan jamu. Dengan kain basah itu, ia menyeka luka-luka di leher Deka.

Deka mendesis dan mengernyit menahan sakit. "Ini apa sih, perih banget!"

"Jamu dari Paman Jukung kemarin. Siapa tahu mengandung antiseptik. Buktinya bagus buat menawarkan racun."

"Ish! Apa hubungan penawar racun dengan antiseptik?" gerutu Deka.

Otak gadis di sampingnya kontan korsleting. "Bawel banget! Jadi enggak diobati lukanya? Protes melulu!" tukas Urai.

Deka menoleh takut-takut. Saat mendapati mata Urai mendelik maksimal, ia terpaksa menurunkan tegangan. "Nanti kamu kehabisan jamu," ucapnya, jauh lebih lembut.

"Masih banyak bahannya. Besok aku bisa membuatnya lagi. Tadi Tambi Dohong memberiku kuali tanah liat khusus buat merebus jamu."

Besok .... Deka menggumamkan kata itu dalam hati. Adakah esok mereka masih bisa sedamai sekarang? Tantangan apa lagi yang harus mereka hadapi di sepanjang perjalanan?

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now