43a. Kekalahan

207 62 6
                                    

Perlawanan pasukan Simpei yang gagah berani tidak bertahan lama. Dibantu Marsose, prajurit Punan dan anak buah Damang Batu akhirnya berhasil melumpuhkan mereka. Damang Batu terlihat sedih saat berkeliling di antara para korban. Sekali lagi, pertikaian antara sesama Dayak membuat nyawa pejuang-pejuang terbaik melayang sia-sia.

Tubuh-tubuh tanpa nyawa dibaringkan berjajar di tepi sungai. Sepuluh jenazah itu adalah anak buah Simpei. Korban di pihak Belanda berjumlah lima orang luka-luka, semuanya anggota Marsose pribumi. Sedangkan di pihak Damang Batu dan Punan ada lima prajurit terluka. Mereka langsung dibawa ke kapal Belanda untuk ditangani oleh dokter kulit putih.

Simpei, Pandih, dan sepuluh anak buahnya dibekuk dan diikat. Hanya sebelas orang itu yang tersisa setelah dikurangi mereka yang hilang di sungai dan melarikan diri.

"Harus kita apakan para perusuh ini, Damang?" tanya Kapten Christofel dari Kuala Kapuas yang bertanggung jawab atas pengamanan seluruh utusan Belanda. Setelah pertempuran reda, ia mendatangi lokasi para tawanan.

Damang Batu tercenung. Walau bagaimanapun, Simpei dan kawan-kawannya adalah saudara sesama Dayak dan mereka berjuang demi rakyat Dayak pula. Setelah terdiam beberapa saat, damang berusia 73 tahun itu buka suara. "Kapten, kita semua telah setuju untuk mengadakan pertemuan damai. Saya yakin, penyerangan ini hanya kesalahpahaman atas kehadiran Belanda di pedalaman ini."

Kapten Christofel mengangkat alis tanda kesal. "Kalian tidak menghendaki kami datang?"

"Sepertinya, mereka belum memahami arti penting pertemuan damai itu. Tapi, mereka juga saudara-saudara saya sesama Dayak. Dalam niat menjalankan misi damai ini, apakah pantas kita melakukan pembunuhan pada orang yang telah kalah? Janganlah niat baik ini ternoda oleh lebih banyak darah."

"Saya hanya peduli pada keselamatan Asisten Residen."

"Saya berani menjaminnya, Kapten."

"Kalau begitu, saya serahkan sepenuhnya para tawanan ini kepada Damang." Kapten Christofel meninggalkan lokasi dan kembali ke kapalnya.

☆☆☆

Damang Batu membebaskan Simpei dan pasukannya dengan syarat mereka tidak melakukan kerusuhan lagi. Satu demi satu para pria muda itu naik ke perahu beserta jenazah teman-teman mereka, kemudian pergi ke arah hilir. Damang Batu menunggu hingga mereka lenyap dari pandangan mata, baru kembali ke kapal uap Belanda.

Di kapal berbendera merah-putih-biru itu, kesibukan terlihat di mana-mana. Api menghanguskan beberapa bagian pagar dek, lantai, dan dinding kabin. Namun, kondisi lambung, kincir, serta ketel uap masih utuh. Senjata panah api dan senapan rakitan hanya merusak bagian yang tidak penting. Nakhoda memastikan kapal bisa melanjutkan perjalanan dengan aman.

Awak kapal dibantu para Marsose membereskan sisa-sisa pertempuran di dek. Drum-drum air dikembalikan ke tempatnya. Api dipadamkan. Pecahan tembikar dan serpihan kayu dikumpulkan, lalu dibuang.

Kesibukan itu tidak mengalihkan perhatian Urai dari permukaan sungai. Ia cukup lega saat melihat Deka datang ke kapal bersama Damang Batu. Namun, kelegaan itu hanya sebentar saja. Matanya yang basah tak mau lepas dari permukaan air, mencari-cari tanda keberadaan Riwut. Ia belum bisa percaya pemuda gesit dan pemberani, Riwut Harusan si Napas Sungai, kalah dalam pertempuran melawan saudaranya sendiri dan hilang begitu saja ditelan sungai.

"Riwut ... di mana kamu?" rintih Urai menyayat hati Deka yang terus berada di sisinya walau keberadaannya tidak dianggap ada. Kalau sudah begini, rasa perih di lengan akibat luka terserempet anak panah terasa tidak ada artinya.

"Rai, sudah. Istirahat dulu," bujuk Deka. Ia semakin galau karena Urai malah menjauh.

"Rai," panggil Deka lagi. Kali ini, ia menarik lengan Urai hingga gadis itu terpaksa menoleh.

"Hm?" Urai hanya menyahut lirih, tanpa berniat melanjutkan percakapan.

"Ayo duduk dulu. Aku carikan air minum."

Urai menggeleng, namun masih mau menurut untuk duduk di lantai dek. "Nggak usah. Aku nggak mau minum."

Deka benar-benar prihatin. Wajah Urai kusut masai dan yang paling mengkhawatirkan adalah tatapannya menerawang, seperti jiwanya tidak berada di tempatnya. "Rai, aku tahu kamu sedih, tapi jangan menangis terus. Nanti kamu sakit."

Urai tidak mendengarkan sara Deka. Ia malah duduk meringkuk dan memeluk kedua tungkai. "Dia belum meninggal. Aku melihatnya masih hidup," ratapnya.

Deka semakin khawatir. Jangan-jangan gadis ini tidak mau pulang dan akan meratapi Riwut selamanya di tempat ini. "Aku yakin dia selamat, Rai."

Tiba-tiba, Urai mendongak. Matanya memicing. "Dari mana kamu tahu? Kamu cuma menghiburku, kan?" tukasnya.

Deka meneguk liur. Sebenarnya, ia tidak merasakan kehidupan Riwut lagi. Itu berarti keberadaan lelaki itu sudah jauh dari jangkauan indra batinnya. "Aku kan indigo," ucapnya demi membuat perasaan Urai lebih baik.

Ternyata bujukan itu tidak mempan bagi Urai. "Kamu pasti bohong. Aku melihat perutnya ditusuk mandau. Kamu pikir orang bisa selamat dengan luka separah itu?"

Bahu Deka pun melorot. "Gimana, sih? Tadi kamu yakin dia selamat. Ya sudah, ikuti saja kata hatimu."

"Kamu memang cowok nggak peka, Kodeka! Nyebelin!" Urai mencibir sambil menggeser duduknya menjauh.

"Lah, kok begitu, sih?" Deka memandangnya dengan perasaan hancur. Rasanya sakit sekali dimusuhi Urai.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now