13a. Penyerangan

265 74 4
                                    

Teriakan penghuni betang yang kaget bercampur panik membahana di seantero rumah. Mereka berlarian ke segala penjuru untuk menyelamatkan diri. Sebagian menghambur ke bilik-bilik, berlindung di balik dinding kayu, tempayan, atau benda apa pun yang bisa menutupi tubuh mereka dari serbuan anak sumpitan dan panah. Lantai kayu bergetar karena derap kaki mereka. Yang tidak beruntung terkena racun anak sumpitan segera merasakan efek upas getah pohon ipoh. Mereka muntah-muntah sejenak, lalu ambruk dan kejang-kejang. Tak perlu waktu lama, tubuh-tubuh korban pun bergelimpangan di dalam betang maupun halaman. Tidak ada yang berani menolong mereka.

Lolongan tangis anak-anak dan perempuan membuat suasana semakin kacau balau. Penghuni yang selamat segera meraih talawang dan membagikannya ke penghuni lain. Perisai kayu itu cukup besar untuk melindungi orang dewasa yang meringkuk di bawahnya.

Datu Penyang dan Deong berteriak memberi komando agar orang yang tersisa segera mengevakuasi anak-anak dan perempuan ke tempat persembunyian. Para lelaki yang mempertahankan betang dipersenjatai dengan mandau, tombak, sumpitan, dan talawang. Mereka bergerak cepat mencari posisi untuk menghadapi serangan lawan.

Deka menyambar tubuh Urai, membuatnya rebah di lantai dan memberikan tubuhnya sebagai perisai demi melindungi gadis itu dari serbuan anak sumpitan.

"Kodeka, ap-apa yang terjadi?" Urai nyaris pingsan saking kagetnya.

"Ssst, diam! Jangan berpikir macam-macam! Cepat merayap ke dinding!" bisik Deka di telinga Urai. Matanya beredar, mencari keberadaan Jala. Untunglah, pemuda itu selamat. Ia tengah berlindung di balik guci tanah liat di dekat situ. Sebuah talawang kayu yang berukir sulur-suluran indah melindungi tubuhnya dari serbuan anak sumpitan. Sepertinya, talawang itu sebelumnya tergantung di dinding sebagai benda keramat.

Tiba-tiba, Riwut datang membawa dua talawang. Satu diberikan kepada Deka. Setelah benda itu berpindah tangan, ia menarik Urai ke dalam perlindungannya, lalu menyeretnya ke sudut aman di dekat dapur.

Deka tak punya pilihan lain kecuali membiarkan Urai dibawa Riwut. Pemuda itu cukup terampil bertempur. Mungkin Urai lebih aman bersamanya. Akhirnya dengan berlindung talawang, ia mengajak Jala mengikuti Riwut. Riwut sendiri segera meninggalkan mereka setelah yakin ketiganya aman.

Bertiga, mereka berlindung di bawah talawang. Tempat itu sekarang terang benderang karena kobaran api di atap dan dinding. Terdengar kegaduhan luar biasa saat anak-anak dan perempuan dievakuasi. Derap kaki mereka melewati Urai dan Deka.

Urai tidak berani mengintip apa yang terjadi. Jerit tangis anak-anak, erangan korban, serta udara yang dipenuhi asap sudah cukup menggambarkan hawa kematian. Urai pun menggigil ngeri dalam pelukan Deka.

Api membesar, melalap dinding di depan dan samping dapur. Atapnya mulai rapuh. Sebuah batang kayu yang terbakar tiba-tiba runtuh. Ujungnya sempat menimpa talawang. Deka dengan sigap menarik Urai ke tempat lain.

Beberapa saat kemudian, serbuan anak sumpitan dan panah berhenti. Jeda yang lengang itu malah membuat suasana semakin mencekam. Itu pertanda serangan lebih dahsyat akan segera datang.

"Kita harus ikut mereka keluar dari betang ini!" seru Jala. Tepat saat itu puluhan tombak kayu menyerbu, menggantikan anak panah dan sumpitan.

"Bersiaaaap!" Terdengar teriakan Datu Penyang dari kejauhan, disambut pekikan para lelaki.

Deka mengintip dari balik talawang. Terlihat para lelaki itu telah mengambil posisi di berbagai tempat sambil berlindung di balik talawang. Mandau dan sumpitan berujung tombak siap di tangan. Mereka seperti menunggu para penyerang itu datang dan akan bertempur habis-habisan.

☆☆☆

Kekacauan udah dimulai ....

Nunggu lagi Senin, yak.
Kalau bintangnya 20, langsung Fura up lagi, kok lengkap bab 13 ini.

Follow IG Fura, yuk: nataliafuradantin

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now