31b. Tangisan di Tengah Malam (2)

203 68 5
                                    


Cukup lama mereka menunggu Jala. Ketika akhirnya pemuda itu muncul, suasana hutan mulai redup. Barangkali karena mendung, alam lebih cepat menjadi gelap.

"Kamu menemukan rumahnya?" tanya Urai.

Jala menggeleng. "Aku tidak melihat rumah di tempat terpencil. Yang ada hanya perkampungan itu saja."

"Berasnya tidak memberi petunjuk?"

"Ada gambaran, tapi tidak satu pun sesuai dengan rumah-rumah yang kulihat," ucapnya dengan lesu. Sinar matanya memancarkan kekecewaan yang dalam. Ia terduduk dan mengusap wajah beberapa kali. "Dia sekarat, tapi aku tidak bisa menolongnya ...."

Urai menepuk punggung Jala yang masih menyimpan bilur-bilur bekas penganiayaan. "Mungkin rumah itu tertutup pepohonan sehingga kamu tidak melihatnya. Kita akan mencarinya sampai ketemu."

Jala mengangguk sembari menghapus genangan air mata di ujung pelupuk. "Aku akan mencari kayu bakar," ucapnya.

Deka dan Urai membiarkan pemuda itu berlalu. Mereka tahu, Jala perlu waktu untuk sendiri.

"Sebaiknya kita membuat pondok darurat, Rai. Siapa tahu malam ini hujan," usul Deka.

"Siap, Bos!"

Deka dan Urai menemukan sebuah area yang datar dan terlindung pohon-pohon besar. Di tempat itu, mereka membangun pondok kecil dari ranting pohon. Untuk menutup bagian atas, mereka meletakkan daun nipah dan daun pisang. Ketika Jala datang membawa setumpuk kayu, mereka membuat api di depan tenda, lalu memanaskan air. Seikat kulit gemor turut dibakar untuk mengusir nyamuk.

Istri Salundik membekali mereka dengan nasi dalam kuali dan grinting[1] yang telah digoreng setengah kering. Mereka cukup memanaskannya agar tidak basi. Selesai mengisi perut secukupnya, ketiganya masuk ke pondok darurat untuk tidur. Pondok itu telah dialasi daun-daun dan cukup untuk bertiga. Urai ingin tidur di tengah, agar terlindungi oleh Jala dan Deka. Namun, Deka menariknya ke tepi.

"Kok kamu malah di tengah?" protes Urai.

"Ya masa kamu sebelahan dengan dia?" balas Deka sambil mengerling ke Jala yang telah lebih dulu berbaring.

"Kan demi keamanan. Masa begitu aja cemburu?"

Alih-alih menjawab, Deka malah merebahkan diri dan memejamkan mata. Akhirnya Urai terpaksa mengalah, merebahkan diri di samping Deka dengan membelakanginya.

Malam itu terasa dingin, padahal mereka berada di dataran rendah yang relatif dekat dengan laut. Angin bertiup cukup kencang, menimbulkan bunyi gesekan pepohonan. Sebagian menembusi celah dinding pondok mengantarkan rasa dingin aneh yang menusuk tulang. Berbeda dengan Jala yang telah mendengkur, Urai tidak bisa tidur. Selimut kain tapih tidak sanggup menghangatkan tubuhnya. Selain itu, suasana malam di tengah hutan membuat nyalinya menciut.

Di tengah malam, Deka mendengar sesuatu sehingga ia bangkit duduk. "Rai, kamu menangis?"

Urai bangun sambil mengusap mata. "Enggak. Aku cuma kedinginan."

Deka mengambil obor yang ditancapkan di luar pondok, lalu menyalakannya dengan sisa bara api unggun. Cahayanya cukup untuk menerangi wajah Urai. "Kamu menggigil?"

Urai mengangguk. "Dingin banget. Aku nggak tahan."

"Ayo duduk di dekat api unggun. Aku panaskan air buat minum."

Urai menurut. Deka menumpuk kayu untuk membesarkan api, lalu mereka duduk di dekatnya sambil menunggu air mendidih. Kain tapih melindungi tubuh mereka dari terpaan angin. Rupanya, Jala juga terbangun dan ikut bergabung bersama mereka. Hanya saja, ia langsung berbaring di dekat api dan kembali tidur.

"Enak sekali dia, sudah terbiasa hidup di hutan," komentar Urai sambil menyeruput air panas dari mug.

Deka tidak menjawab karena kembali mendengar suara yang tadi membuatnya terbangun. "Aku dengar suara orang menangis," bisiknya.

Urai yang semula duduk bersila dan menekuk tubuh, kontan tegang. "Di-di mana suaranya?"

Deka menggeleng. Ia menajamkan mata batin. Sekarang baru nyata bahwa itu bukan tangisan biasa. "Bukan suara orang ...."

"Hah?" Urai langsung mendelik. "Hantukah?"

"Coba tanya Jala, apa dia juga mendengarnya."

Urai mengguncang bahu Jala hingga pemuda itu terbangun. "Hei, kamu dengar suara tangisan?"

Jala mendengarkan sejenak. "Aku tidak mendengar apa-apa selain bunyi angin, burung hantu, dan serangga."

"Katanya dia nggak mendengar apa-apa, Kodeka."

"Ya sudah, lupakan! Tidur aja kalian," ucap Deka.

Jala kembali membaringkan diri, namun Urai malah semakin gelisah. "Aduduh, gimana nih, Kodeka?"

"Sudah Rai, tidur! Aku menjagamu, tenang aja," ucap Deka.

"Mana bisa tidur setelah dengar ceritamu? Aku makin menggigil, nih." Urai meringkuk sambil memeluk kedua tungkai. Raut wajahnya memelas.

Deka memakluminya. Udara malam di tengah belantara ini memang terasa sangat dingin. Diletakkannya mug air, lalu direntangkannya sebelah lengan. "Sini," ucapnya lirih.

Urai menoleh, namun tidak mengerti maksudnya. "Sini gimana?"

Wajah Deka langsung mengerut. Ini orang beneran nggak paham atau jual mahal?

"Mendekat ke sini!" tukasnya kesal.

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now