25a. Marsose

225 64 3
                                    

Lima Marsose berwajah dingin muncul mendadak dari rerimbunan perdu. Mandau tergantung pinggang, sedangkan karabin siap membidik Deka dan Jala yang masih berada di sungai, terendam hingga pinggang. Suasana pagi yang masih gelap itu berubah genting.

"Angkat tangan!" Salah satu dari mereka maju ke tepi sungai sambil menatap garang. Sepertinya, ia yang paling berkuasa di antara kelima orang itu.

Jala dan Deka tak punya pilihan lain kecuali menurut. Tangan yang tengah memegang bubu terangkat ke sisi kepala.

"Naik ke sini!" seru lelaki itu lagi.

Deka dan Jala bergegas keluar dari sungai sambil menjinjing bubu di sisi kiri dan kanan kepala. Begitu sampai di tanah kering, salah seorang pasukan bayaran itu memukul perut Deka dan Jala dengan tangkai karabin. Bubu berjatuhan ke tanah. Erangan kedua pemuda itu menyertai tubuh mereka yang terguling ke tanah.

Belum puas dengan aksinya, para Marsose itu menyepaki keduanya hingga tak berdaya. Rasa nyeri yang menggigit menjalar ke seluruh tubuh. Deka merasa ususnya nyaris pecah. Namun, ia tak begitu memedulikan rasa sakit itu. Pikirannya dipenuhi wajah Urai. Jangan-jangan, Marsose-Marsose itu juga menyergap Simpei dan kawan-kawannya, termasuk Urai. Bagaimana bila mereka menembaknya, atau yang lebih parah memperkosanya?

Oh, tidak! Ia bisa digiling Dehen menjadi dedak bila kehilangan Urai.

"Ampun, ampun!" seru Jala. "Kami cuma mencari ikan!"

"Bohong! Kami tahu kalian ikut rombongan para buron itu!" balas salah satu anggota Marsose. Mereka merampas mandau Deka dan Jala. Kantong beras bertuah juga ikut dirampas, namun segera dicampakkan ke tanah saat tahu isinya cuma beras beberapa genggam. Kantong itu jatuh di depan Deka dan isinya berhamburan.

"Jelaskan asal usul kalian!" bentak Marsose itu.

Jala berusaha menjelaskan kronologi kejadian dari serangan orang Punan hingga ditolong para buronan.

Sementara itu, Deka segera meraih kantong berasnya sambil menahan ngilu di seluruh tubuh. Isinya berceceran, namun masih ada sedikit yang berada di dalam kantong. Dengan cepat, diselipkannya sisa beras itu ke balik lilitan ewah. Sebagian lagi digenggam. Begitu ada kesempatan, butiran ajaib itu dijejalkan ke dalam mulut dan dibiarkan di sana.

"Ah, bohong saja kamu!" sentak sang Marsose, lalu menyepak kedua tangkapan itu sekali lagi.

"Cepat jalan!"

Deka dan Jala disuruh berjalan sambil mengangkat tangan di belakang kepala. Bubu mereka diangkut oleh para Marsose. Mungkin tentara bayaran Belanda itu senang mendapat lauk segar tanpa bersusah payah menangkapnya.

Deka dan Jala menyusuri jalan pulang sambil menahan nyeri. Deka bahkan nyaris tak sanggup berdiri tegak. Ada lebam kebiruan di rusuk kiri dan pinggang kanannya. Belum lagi luka gores dan bengkak-bengkak di lengan dan kaki saat menahan sepakan sepatu lars yang keras. Kondisi Jala lebih mengenaskan. Pemuda itu mendapat tambahan lebam dan luka gores padahal bilur-bilur bekas penganiayaan penghuni betang Deong baru mulai mengering.

Bukk!

Seorang Marsose mendepak punggung Deka hingga terhuyung menubruk Jala. "Cepat jalannya! Jangan seperti pengantin!" teriak orang itu.

Deka dan Jala terpaksa mempercepat langkah, walau sebenarnya ingin ambruk dan berbaring di tanah.

Hari mulai terang. Langit berubah biru muda, bersepuh awan lembayung. Jalan yang mereka lalui semakin jelas terlihat. Setelah berjalan beberapa saat, mereka akhirnya sampai di tempat sampan bersandar.

Suasana di tempat itu kacau balau. Arang dan abu bekas api unggun terburai. Panci, ketel, dan mug-mug berserakan dan peyok. Rumpun perdu di sekitar tempat peristirahatan semalam toboh dan rantingnya patah-patah. Rupanya, telah terjadi perkelahian sengit beberapa saat lalu.

Sudah jelas siapa pemenangnya. Simpei dan ketiga rekannya berhasil dibekuk para Marsose. Sekarang mereka berlutut, berjajar di hadapan para Marsose yang mengacungkan senapan. Wajah mereka babak belur.

Deka menelisik keberadaan Urai. Ia menemukan gadis itu di deretan buronan, ikut berlutut sambil menekuk tangan di belakang kepala. Tidak terlihat darah di tubuhnya. Deka sejenak bisa mengambil napas lega.

"Duduk di sana!" Seorang Marsose yang mengawal Jala dan Deka memberi perintah dengan garang. Punggung mereka disodok dengan karabin.

"Ugh!" Deka dan Jala mengerang bersamaan dan terhuyung sejenak. Begitu sampai di deretan para buron berlutut, para Marsose itu tidak membiarkan mereka mengambil napas. Keduanya disepak hingga tersungkur.

"Kodeka!" panggil Urai dengan suara serak. Ia ingin membantu junjungannya bangkit, namun seorang Marsose menghardiknya sambil mendelik. Niat Urai langsung surut.

Deka dan Jala ikut berlutut bersama Urai dan para buronan.

"Rr-Rai?" bisik Deka. Ia tidak bisa berbicara lancar karena mengulum beras.

Urai mengangguk kecil sambil menggigit bibir. Deka memandangnya dengan hati pilu. Urai terlihat rapuh dan ia sungguh ingin merengkuhnya ke dalam pelukan.

"Kamu luka-luka," desah Urai. Matanya tak lepas menelisik tubuh putih junjungannya yang kini dihiasi lebam dan goresan. Hatinya ikut ngilu melihat luka-luka itu.

Deka menggeleng kecil agar Urai tidak khawatir.

"Kodeka, aku punya minyak pemberian paman pemilik jukung. Nanti aku olesi lukamu," bisik Urai.

"Hei kau Perempuan, diam!" Seorang Marsose mendekati Deka dan Urai sambil mengayun popor senjata ke udara hendak menghantam kepala Urai.

☆☆☆

Lanjut besok ya

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang