25b. Marsose (2)

223 66 9
                                    

Deka dengan sigap memeluk dan mendorong Urai hingga rebah. Pukulan tangkai karabin meleset dan membuat sang Marsose semakin geram. Tubuh Deka pun ditendang berkali-kali hingga terguling lemas.

Urai panik. Diraihnya sepotong kayu yang ia temukan di dekatnya, lalu menyodok selangkangan sang Marsose sekuat tenaga. Tendangan lelaki itu terhenti seketika. Ia terhuyung mundur sambil memegangi barang pusakanya.

"Kaaaaau!" geramnya sambil mendelik. Diangkatnya karabin dan diarahkan ke kepala Urai.

Tahu nyawa Urai terancam, Deka bergerak ke depan gadis itu, memberikan tubuhnya sebagai tameng.

"Heeeei! Cukuup!" Teriakan seorang Marsose lain berhasil menahan anggota yang marah itu menarik pelatuk. Ia terlihat paling senior di antara mereka semua.

"Dia memukul saya, Komandan!"

"Kita tidak membunuh perempuan, bodoh! Kita bawa dia ke benteng!" balas sang komandan.

Anak buahnya langsung mengerti maksud di balik perintah itu dan segera mengangguk. "Siap, Komandan!" Lelaki itu menendang Deka hingga roboh, lalu menyeret Urai dan menyuruhnya berlutut di tempat lain.

"Bersiap eksekusi mereka!" teriak komandan Marsose.

Empat Marsose bergerak ke depan, masing-masing membidik satu kepala buronan. Entah mengapa, Jala dan Deka tidak ikut dibidik.

"Satu ...!" Sang komandan memberi aba-aba.

Simpei menegakkan tubuh. Dagunya terangkat. Matanya menatap tanpa gentar kepada algojonya. "Demi bangsa dan rakyat Banjar, Allahuakbar!"[1]

Melihat senior mereka bersiap mati dengan gagah berani, Tilung dan Pandih yang semula tertunduk ikut menegakkan diri. Hanya Alui yang terlihat gugup. Sedari tadi, ia menoleh ke kiri dan kanan, seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Dua ...!"

"Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbaaaar!" seru Simpei, Tilung, dan Pandih tanpa ragu. Berbanding terbalik dengan Alui yang semakin pucat.

"Tunggu!" seru Alui tiba-tiba.

Komandan Marsose mengangkat tangan agar anak buahnya menunda tembakan. "Mau apa kau?"

"Kalian sudah berjanji hanya menangkap mereka, bukan membunuhnya di tempat!" seru Alui.

Perkataan itu bagai sambaran petir bagi ketiga rekannya. Kontan, mereka menoleh sambil mendelik.

"Kamu?!" seru Simpei, nyaris tak percaya kenyataan pahit ini menimpa dirinya.

Melihat drama kecil itu, sang Komandan girang. "Ahahaha! Simpei, kamu tidak tahu adik polos ini ternyata sanggup menusuk dari belakang? Kamu menghubungi orang yang salah. Bapa Andung itu orang kami."

"Kurang ajar! Pengkhianat!" geram Simpei. Kekesalannya menjadi bahan tertawaan para Marsose.

"Mau tahu, Alui menjual kalian berapa? Cuma 100 gulden per kepala! Totalnya hanya 300 gulden saja! Murah, bukan?"

Alui membuka mulut, namun dengan cepat mengatupkannya kembali. Komandan Marsose tahu ia tidak terima.

"Apa, mau melawan? Ketiga orang itu tidak dihitung! Mereka budak!" tudingnya ke Deka, Jala, dan Urai.

Kemarahan Simpei telah mencapai ubun-ubun. Tanpa terduga, ia menerjang Alui dan memukul kepalanya. "Kurang ajar kau!" Belum puas melihat Alui terjengkang, Simpei menindih badannya dan mencekik lehernya.

"Hei, berhenti!" Salah satu Marsose menendangnya hingga terguling. Sang komandan lalu menginjak dadanya hingga Simpei tak berkutik.

"Tidak perlu repot-repot mencekiknya," ucap Komandan Marsose dengan nada lembut. Tahu-tahu, ia menarik pelatuk karabin dan ....

Dor!

Sebutir timah panas ditembakkan, tepat mengenai dahi Alui. Lelaki itu langsung ambruk, kejang sebentar, lalu diam tak bernapas. Ketiga temannya kaget. Simpei bahkan membeku di tempat dengan mulut ternganga.

Pemimpin pasukan melepaskan Simpei. "Pengkhianat memang menyebalkan, bukan?" ucapnya sembari memberi tanda kepada anak buahnya agar bersiap mengeksekusi mati ketiga buronan yang tersisa, termasuk Jala dan Deka.

"Ada kata-kata terakhir?" tanyanya dengan seringai mengerikan.

"Bebaskan kami! Kami tidak bersalah! Kami hanya budak!" seru Jala.

"Hei, diam kau Budak! Aku tidak bertanya padamu!"

Sementara itu, Deka diam-diam mengunyah butiran beras yang ia simpan dalam mulut.

Penguasa alam, bantulah kami menyelamatkan diri. Deka menyemburkan beras itu ke sekeliling.

Mendadak, terdengar bunyi "krek" sangat keras. Semua orang menoleh ke arah datangnya suara. Mulut mereka terbuka karena kaget luar biasa. Tahu-tahu, sebuah pohon tua yang puluhan meter tingginya dan memiliki dahan sangat rimbun, roboh tepat ke arah para Marsose yang bersiap mengeksekusi buronan. Kontan saja, mereka berhamburan ke segala arah, menghindar dari terjangan batang, dahan, dan ranting pohon.

Simpei dan dua rekannya sigap. Mereka meraih senapan yang semalam sempat disembunyikan di bawah dedaunan, lalu menembak para Marsose itu sambil menyelamatkan diri dari terjangan pohon tumbang. Marsose yang selamat segera membalas. Terjadi baku tembak dari segala arah. Suasana mendadak kacau balau.

Deka menyelinap di antara kekacauan itu. Ia berhasil menyeret Urai ke sampan. Jala mengikutinya sambil merunduk, agar tidak terkena peluru nyasar.

Para Marsose itu benar-benar dibuat kacau oleh pohon tumbang dan terjangan peluru. Mereka yang selamat berlari menjauh. Simpei dan dua rekannya ikut meloncat ke sampan.

"Dayung cepat!" seru Simpei. Semua orang, termasuk Urai, sekuat tenaga mengayuh sampan menjauhi tempat itu sebelum para Marsose mengumpulkan kekuatan dan mengejar mereka.

Ternyata para Marsose itu sangat tangguh. Mereka yang lolos dari robohan pohon dan sambaran peluru berlarian menyusul ke tepi sungai.

"Tembaaaak!" seru Komandan sambil berlari.

Detik berikutnya, serentetan timah panas menyasar sampan para buronan.

_______________

[1] Pengikut Pangeran Antasari yang berasal dari suku Dayak kebanyakan ikut memeluk agama Islam dan menyatakan diri mereka rakyat Kesultanan Banjar. Sedangkan suku-suku pedalaman lain tidak mengenal hierarki kerajaan. Mereka terpisah dalam klan-klan kecil yang tinggal di desa atau dusun dan dipimpin oleh kepala suku.

☆☆☆

Komen, yuk

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now