36c. Kembali ke Dunia Nyata (3)

231 70 8
                                    


Melihat Urai sesenggukan, Deka hanya bisa bungkam. Hatinya terbelah antara ingin melanjutkan pelukan atau menarik diri. Akhirnya, ia kembali mendayung karena cuma itu yang terpikir untuk dilakukan.

"Makanya, nggak usah peluk-peluk dia. Nangis kan anak orang?" tegur Nuraini sambil merengut. "Kamu sama aku ajah, Sayangkuh. Aku nggak susah diurus, nggak butuh diberi makan dan segala macam perhiasan. Aku sudah bahagia melihat senyummu. Mmmm-ah!" Si arwah Centil mengoceh riuh, namun tidak seorang pun tergerak untuk menanggapi.

"Warna airnya nggak bening lagi," kata Deka, sekadar untuk mengalihkan suasana hati yang carut marut.

"Kita sudah berada di alam manusia, Sayangku," sahut Nuraini. "Maduku, kamu masih bisa melihatku?"

"Aku bukan madumu!" tukas Urai sengit.

"Oh, dia menyahut. Berarti masih dia bisa melihatku. Wah, ternyata udara desa gaib ada gunanya juga buatnya."

"Jangan mengoceh terus, Nur! Di mana kita?" tanya Deka. Ia tidak menggunakan bahasa batin karena toh kedua rekannya tetap bisa melihat keberadaan Nuraini.

Nuraini memutar mata ke atas. "Mau tahu atau mau tahu banget?"

"Sssssh!" Deka mendelik maksimal. Kedua alisnya terangkat dan mulutnya menguncup dan maju. "Kukirim kamu ke Pak Dehen!"

Nuraini menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil berkedip-kedip. "Kamu makin menggemaskan kalau sedang marah. Bibirmu mmmm-ah!"

Deka membuang pandangan ke tempat lain dan mulai merutuki nasib. Urai tidak menempel lagi, malah si Arwah Centil semakin menjadi.

"Kita sudah dekat dengan Tumbang Anoi, Sayangku. Desa di hulu sana itu Tumbang Miri."

"Sungai apa di depan itu?"

"Ih, kamu masih juga bertanya. Sungai Kahayan, dong!"

Deka belum sempat menyahut saat bahunya ditepuk Urai. Sisa air mata gadis itu masih terlihat di pelupuk, namun ada hal genting yang harus mereka tangani. "Kodeka, Riun perdarahan!"

Sontak, Deka membalikkan badan. Di bagian belakang jukung, Riun terkulai di pangkuan Jala. Urai melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Kain tapih hijau Riun telah ternoda oleh darah yang merembes dari perut.

"Rai, tolong buka tapihnya," pinta Deka. Dibantu Jala, Urai melepaskan lilitan kain tapih Riun.

Deka mendekat dan menyingkap kain gadis itu. Kepalanya mendadak ringan saat melihat luka robek menganga lebar di sisi kiri pusar. Luka Riun sangat mengerikan.

"Astaga kenapa bisa luka? Siapa yang melakukannya?" Deka bertanya kepada Jala, namun ia hanya mendapati tatapan kosong.

Nuraini mendekat dan ikut keheranan. Ia tidak melihat penyerangan oleh Silas dan anak buahnya. "Apa dia terluka saat keluar dari portal? Ah, tidak mungkin. Kalau ada benda tajam di portal itu, pasti kita semua sudah terkena. Lagi pula, lukanya seperti sudah lama. Tuh, darahnya kelihatan hitam dan membeku. Aneh sekali, Deka."

Deka mengabaikan perkataan Nuraini karena syok melihat luka sebesar itu. "R-Rai, kamu masih menyimpan minyak pemberian Paman Jukung?" tanyanya dengan terbata.

Urai meraih tabung bambu yang diikatkan di pinggang, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil. Ia memberikan botol itu kepada Deka, dengan tangan gemetar.

"Harus kuapakan minyak ini?" tanya Deka. Otaknya mendadak kosong.

"Dulu, Paman Jukung menyuruhku meminum setetes dan sebagian dioleskan ke luka," sahut Urai.

Deka mengangguk, lalu membuka botol kecil itu. "Tolong buka mulutnya," ucapnya pada Jala. Ia kaget melihat ekspresi Jala yang sangat lesu. Matanya menatap kosong pada lantai di depannya. Ada lelehan air mata di kedua pipi. Anehnya, Jala seperti tidak kaget melihat luka Riun.

"Jala!" tegur Deka.

Jala tersadar dari kekosongan. "Ah, iya." Ia menoleh ke Riun, lalu menepuk lembut pipinya. "Riun, bangun sebentar. Ada obat yang harus kamu minum."

Riun merintih lirih. Pelupuknya membuka perlahan. Mata bermanik kecokelatannya mengarah pada Jala sejenak, seperti mengumpulkan ingatan. Sesaat kemudian, mata itu membasah. "Ja-Jala?' desahnya lirih, dan mulai terisak. Namun, ia segera mengernyit karena guncangan dada itu membuat lukanya terasa nyeri.

Mendengar namanya disebut, senyum terkembang di wajah Jala. Air matanya meluap dan menetes-netes ke kain Riun. "Kamu ingat aku?" bisiknya.

Riun mengangguk lemah dan berusaha tersenyum. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Namun, hanya desah kesakitan yang keluar.

"Sssh, ditahan dulu. Kita akan ke Tumbang Anoi menemui Damang Batu. Semoga beliau bisa menyembuhkanmu," ucap Jala.

Riun mengangguk lagi. Deka mendekatkan botol minyak ke mulutnya. Gadis itu meneguk tetesan minyak tanpa mengeluh. Setelahnya, Deka bermaksud meneteskan minyak itu di atas luka yang panjangnya sekitar dua puluh sentimeter. Ternyata di balik darah yang merembes itu terlihat usus yang bergulung. Pemandangan itu membuatnya membeku di tempat. Tanpa sadar, tangannya gemetar dan botol minyak terlepas dari genggaman.

Beruntung Urai menangkap botol minyak itu sehingga tidak jatuh ke dalam luka. "Biar aku aja, Kodeka," ucap gadis itu.

Deka terpaksa kembali ke haluan dengan sangat malu. Mau bagaimana lagi? Ia terlahir seperti ini, ngeri melihat darah. Dan luka kali ini bukan hanya berdarah. Ia bahkan melihat usus manusia! Deka mendadak merasa mual. Ia muntah-muntah di pinggir sampan.

"Ayo, jangan kelamaan berhenti, nanti orang-orang betang itu menemukan kita!" Nuraini meneriaki Deka agar melupakan rasa mualnya.

Sambil mendesah berkali-kali, Deka meraih dayung. Laju sampan tidak secepat tadi karena hanya Deka yang mengayuhnya.

Sampan melaju perlahan menuju sungai utama yang lebih lebar. Mereka berhenti sejenak tepat di kelokan. Daerah ini bukan lagi wilayah rawa gambut. Tanah kering menjadi pembatas di kiri dan kanan sungai. Di tempat lain, pinggiran itu melandai sehingga membentuk semacam pantai pasir kecil.

"Daerah ini terlalu terbuka. Kita bisa tertangkap dengan mudah," keluh Deka. "Nur, coba cari di mana keberadaan orang-orang betang itu!"

Nuraini menegakkan tubuh, lalu meringis lebar dan menunjuk ke arah belakang sampan. "Itu!"

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊
Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now