32a. Tangisan Lagi

204 64 1
                                    

"Kodeka, kamu sayang aku?"

Pertanyaan Urai tak kunjung menguap dari benak Deka. Ia menunduk untuk mengamati wajah gadis yang terlelap dalam pelukan, bersandar pada dadanya. Bekas tetesan air mata masih basah, membentuk noda di bajunya.

Deka membuang napas yang sesak. Ia tahu apa yang membuat Urai menangis. Bila diminta untuk melindungi dan menjaganya, ia tidak akan menolak. Namun, jangan meminta lebih dari itu.

Deka tidak menampik bahwa Urai cantik. Ia pasti buta bila tidak mengenali pipi bulat penuh yang halus, bulu mata lentik yang tidak dimiliki semua orang, serta bibir bulat kemerahan yang menggiurkan untuk dilumat. Saat mendekapnya begini, terasa tubuh mungil Urai yang padat dan hangat. Jujur, jiwa lelakinya sangat tergoda untuk mengelus dan meremas. Namun, ia juga yakin dorongan itu hanya hasrat kedagingan, hawa nafsu yang terbentuk akibat hormon dan feromon. Ia ragu perasaan ini adalah cinta.

Kenapa kamu menanyakan hal yang nggak bisa aku jawab sih, Rai? Kamu jadi sedih sendiri, kan?

Malam pun semakin larut. Angin di luar sudah berhenti bertiup sehingga udara menjadi lebih hangat. Setelah yakin Urai terlelap, Deka merebahkan kepala Urai dengan hati-hati ke buntalan kain, lalu menyelimuti tubuhnya dengan kain tapih. Sekarang baru terasa pegal dan linu akibat perjalanan hari ini. Deka memutuskan untuk merebahkan diri di samping Urai dan berusaha memejamkan mata.

Jala ikut masuk ke dalam pondok lalu mengecek kondisi Urai. Setelah yakin gadis itu tidur, ia ikut berbaring di sisi Deka. Tak lama kemudian, ia terlelap dan mendengkur lirih.

Kini tersisa Deka yang tak kunjung melayang ke alam mimpi. Pikirannya terganggu oleh suara tangisan aneh tadi. Suaranya terdengar lirih, tapi cukup dekat. Ia yakin sekali itu bukan suara manusia. Apakah suatu hal buruk telah terjadi pada Riun? Bukankah selama ini gambaran yang terlihat melalui beras adalah seorang gadis yang sekarat? Jangan-jangan suara tadi adalah arwah Riun. Entah bagaimana reaksi Jala bila kematian itu benar terjadi.

Deka menggeliat dan memiringkan tubuh ke arah Urai. Gadis itu tidur membelakanginya. Suara di sudut hati Deka berteriak agar ia merengkuhnya dalam pelukan. Namun sekali lagi, logika menahannya. Ia tidak boleh melakukan kesalahan seperti tadi, membuat kontak fisik yang menyebabkan Urai berharap padahal hatinya masih gamang. Selain itu, ia bingung bagaimana menghadapi Urai esok dan seterusnya.

Deka membalikkan badan memunggungi Urai. Suara hewan malam dan serangga hutan yang sebelumnya mengisi malam, mendadak berhenti. Hutan menjadi hening mencekam.

"Huhuhuuuuu!" Kesunyian itu terpecah oleh suara tangisan. Kali ini lebih nyaring dan lebih dekat. Deka kontan bangkit duduk. Begitu juga Jala.

"Orang menangis. Kamu mendengarnya?" Deka menyentuh telinga untuk membuat Jala mengerti. Pemuda itu menjawab dengan anggukan. Keduanya merangkak keluar pondok, lalu memperbesar nyala obor dan perapian. Mereka siaga di dekat api unggun sambil mengamati sekeliling.

Beberapa menit berlalu tanpa keanehan. Deka yang sedari tadi menajamkan indra batin, menangkap sebuah energi aneh dari suatu tempat di dalam hutan.

"Di sana," bisiknya pada Jala sambil menunjuk ke arah hutan.

"Huhuhuhuuuuu!" Suara misterius itu kembali menyeruak di antara kelamnya malam.

"Sial, dia berpindah ke sebelah sana!" seru Deka. Telunjuknya bergeser jauh ke sisi lain hutan. "Suaranya semakin dekat."

Jala mengambil obor, lalu mengendap ke hutan di depan mereka. Deka terpaksa tetap duduk karena tidak mungkin meninggalkan Urai sendiri. Beberapa saat kemudian, Jala kembali.

"Ada apa di sana?" tanya Deka.

Jala menggeleng, lalu duduk kembali di dekat api unggun. "Aku akan berjaga di sini." Dengan kode telunjuk mengarah ke pondok, ia menyuruh Deka tidur menemani Urai.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualWhere stories live. Discover now