64. Maaf Untuk Semua

Start from the beginning
                                    

"Mau ngapain ke sini?" sela Meisya dengan nada jutek. Tentu saja tanpa berbalik badan menatap Alan. "Kalo gak penting gak usah ke sini. Gue mau istirahat."

Alan bungkam. Sudah ia duga ini pasti akan terjadi. Alan tidak menyalahkan Meisya. Ia memang pantas untuk dibenci.

"Ini buat kamu." Alan menyodorkan satu kantong kresek besar berisi beberapa snack kesukaan Meisya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Hingga detik ke sepuluh masih tidak ada respon apapun dari Meisya. Alan tersenyum kecut. Ia kemudian meletakkan kantong kresek itu di atas nakas.

"Nanti dimakan ya. Itu semua makanan kesukaan kamu. Tadi aku udah nanya ke dokter, katanya gak papa kalo kamu mau makan makanan kaya gini."

Meisya masih diam. Gadis itu justru memejamkan matanya pura-pura tidur. Namun ia mendengarkan semua yang Alan ucapkan.

"Sya..." Alan berusaha menarik satu tangan Meisya. Tapi gagal. Karena gadis itu menahan tangannya sendiri dengan begitu kuat.

"Maaf untuk semua." Alan bahkan tidak tahu harus mengucapkan kata maaf untuk kesalahan yang mana. Karena ia menyadari kesalahan yang ia perbuat kemarin sudah terlalu banyak.

Terdengar helaan napas panjang dari Alan. "Aku tau, aku brengsek. Aku mungkin gak pantes dapetin maaf dari kamu. Tapi aku berharap aku masih punya kesempatan buat memperbaiki semua. Sekecil apapun kesempatan itu. Semoga masih ada."

Setelah beberapa detik Meisya tidak kunjung memberi respon apapun. Dan gadis itu juga masih terlihat memejamkan mata pura-pura tidur. Alan memutuskan untuk keluar saja. Mungkin untuk saat ini Meisya memang benar-benar tidak mau bicaranya dengannya. Namun Alan tidak akan menyerah. Ia akan berjuang lebih keras lagi untuk mendapatkan maaf dari Meisya.

"Aku keluar dulu, ya. Kamu istirahat yang cukup. Makannya teratur. Jangan males minum obat. Biar kamu bisa cepet sembuh. Nanti sore aku balik lagi."

Hati Alan rasanya seperti diiris-iris saat melihat Meisya bersikap bodo amat dengan kehadirannya sekarang. Bahkan gadis itu sama sekali tidak mau menatapnya meski hanya untuk beberapa detik.

Alan berjalan keluar dari ruangan Meisya dengan perasaan sesak di sudut dadanya. Namun ia kembali teringat dengan nasihat Gala dan papanya. Bagaimanapun hasilnya, yang terpenting dirinya sudah mau berusaha.

"Lan, kamu kenapa?" Meca merasa iba melihat wajah Alan yang tampak begitu kusut. Seperti orang putus asa.

Alan tersenyum lalu menggeleng pelan. "Gak papa tante."

"Maafin ya, kalo Meisya..."

"Tante..." Alan menatap Meca serius. "Maafin Alan. Alan tau, Alan itu cowok brengsek. Maafin Alan pernah nyakitin hati Meisya dan salah paham ke Meisya." Alan menjeda ucapannya. Ia menarik napas dalam-dalam ketika dadanya merasa begitu sesak.

"Maafin Alan karena sempet percaya sama ucapan Angel kalo om Sadam dan Meisya itu adalah orang yang menjadi penyebab El meninggal. Maafin Alan."

Mendengar kata maaf yang berkali-kali diucapkan oleh Alan, Meca merasa tidak tega. Wanita itu melangkah maju untuk mengusap-usap punggung Alan. Namun cowok dihadapannya itu tetap menunduk dengan rasa bersalah yang besar.

"Ini semua bukan salah kamu sepenuhnya, Lan. Kamu kaya gitu karena terpengaruh sama ucapan Angel. Harusnya tante juga minta maaf sama kamu atas semua ulah Angel selama ini. Biar bagaimanapun, Angel itu menjadi tanggung jawab tante sama papinya Meisya. Jadi tante juga ikut merasa bersalah dengan semua perbuatan buruk Angel. Maaf, ya Lan."

ALAN [END]Where stories live. Discover now