64. Maaf Untuk Semua

Start from the beginning
                                    

Anton menepuk-nepuk pundak Alan. Pria baru baya yang biasanya bersikap jahil ke anak-anaknya itu, sekarang berusaha menjadi papa yang bijak. Benar kata orang, mau seburuk apapun seseorang. Mereka akan berusaha menjadi contoh yang terbaik untuk anaknya.

"Kalo kamu nurutin kata hati kamu. Papa yakin kamu pasti akan milih pilihan yang pertama."

Alan menghembuskan napasnya kasar. Apa yang papanya katakan barusan satu inti dengan nasihat Gala kemarin. Tidak dapat Alan pungkiri, apa yang mereka katakan itu memang benar semua. Alan terlalu pengecut. Tidak berani mengambil satu keputusan dengan tegas.

"Kamu menyesal kan? Udah salah paham dan nuduh Meisya sembarangan?" tanya Anton dan Alan langsung mengangguk setuju. Tidak ada gunanya lagi untuk gengsi sekarang.

"Enak gak rasanya?"

Alan spontan menggeleng. Lagi pula mana ada yang namanya penyesalan tapi enak. "Enggak."

Dua sudut bibir Anton tertarik ke atas. "Sekarang kamu tau, penyesalan itu rasanya gak enak. Jadi...jangan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kali. Jangan menyesal kalo suatu saat Meisya bisa bahagia tanpa kamu."

*****

"Sya..." Meca mengusap-usap kepala Meisya dengan lembut. "Ada yang mau ketemu sama kamu."

"Siapa, mi? Sarah ya?" tebak Meisya. Pasalnya sejak kemarin Sarah memberi kabar ke Meisya kalau dirinya tidak bisa menjenguk karena di rumah mamanya juga sedang sakit. Gadis itu mengatakan akan menjenguk Meisya hari ini.

Meca menggeleng lalu tersenyum. "Mami suruh orangnya masuk, ya? Nanti kamu juga tahu."

Meisya mengatupkan bibirnya kembali saat Meca langsung pergi begitu saja. Padahal Meisya baru mau menjawab ucapan maminya.

"Ck, siapa sih? Apa jangan-jangan Andra, ya? Kan dari kemaren tuh anak gak muncul lagi setelah donorin darahnya buat Erlang," gumam Meisya mencoba menebak siapa yang akan datang menemui dirinya.

Ceklek

Pintu terbuka. Di detik itu juga mata Meisya bertubrukan dengan mata elang milik cowok yang mengenakan celana dan hoodie berwarna hitam.

Meisya buru-buru mengalihkan tatapan matanya ke arah lain sebelum seseorang itu semakin mendekat ke arahnya.

Sementara itu, sama halnya dengan yang Alan rasakan sekarang. Canggung. Hanya satu kata itulah yang bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan Alan saat ini.

Perlahan-lahan Alan mulai melangkah mendekati Meisya. Ia duduk di satu kursi yang ada di sebelah brankar tempat Meisya berbaring.

Hati Alan mencelos begitu saja ketika mendapati gerak tubuh Meisya yang menunjukkan ketidaknyamanan setelah kehadirannya di dalam ruangan ini.

Berkali-kali Alan menghembuskan napasnya untuk menetralkan rasa canggung di dalam dirinya. Sampai akhirnya mulutnya bisa terbuka dan mengucap nama Meisya dengan lirih. Sangat lirih.

"Meisya..."

Meisya yang sejak tadi memunggungi Alan. Memejamkan mata saat sapaan lembut itu memasuki gendang telinganya. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa waktu, Alan kembali memanggil namanya selembut itu. Dan Meisya merasa...gugup.

"Sya, aku..."

Meisya tersenyum miris. Mendengar Alan menggunakan kata "aku" di dalam kalimatnya. Rasanya ucapan itu terdengar terlalu aneh di telinga Meisya. Setelah dengan tidak berperasaan nya, kemarin cowok itu sempat menghina, merendahkan, membentak bahkan menamparnya di depan umum dan sekarang Alan kembali bersikap manis padanya? Haha miris sekali.

ALAN [END]Where stories live. Discover now