42. Permintaan Maaf Alan

Start from the beginning
                                    

"Kenapa lo telfon gue? Ah, maksudnya Alan ke..."

"Jangan bahas dia. Gue kesel," potong Meisya cepat. Gadis itu sedang tidak mood membahas tentang Alan.

Hari ini, Alan membuatnya sangat kesal. Cowok itu tidak mengangkat telfon dari Meisya. Bahkan sudah berkali-kali Meisya mencoba menghubunginya. Namun tetap saja tidak ada balasan apapun. Entah sesibuk apa Alan mengurus Angel. Sampai-sampai melupakan dan tidak memedulikan Meisya yang sedang membutuhkan bantuan.

Meisya bersumpah ingin mendiamkan cowok itu dalam beberapa waktu. Hitung-hitung ini adalah pelajaran untuk Alan. Agar di lain hari, cowok itu tidak bersikap seenaknya pada Meisya.

Tidak mau terlalu ikut campur urusan Alan dan Meisya. Kenan mengangguk paham. Mungkin Meisya memang sedang ada suatu problem dengan cowok itu.

"Gue anter lo pulang." Kalimat Kenan lebih terdengar sebagai pernyataan dari pada pertanyaan.

Meisya hendak membuka suara untuk menolak ajakan Kenan. Tapi dengan cepat Kenan menyerobotnya. "Jangan nolak. Anggep aja ini sebagai imbalan karena gue udah nolongin lo. Jadi lo harus mau gue anter."

"Oke," angguk Meisya pasrah. Mau bagaimana lagi. Kenan sudah baik. Tanpa Kenan, Meisya tidak mungkin bisa pulang sekarang.

*****

Hari berganti menjadi malam. Sejak bangun dari tidurnya Alan sibuk menghubungi Meisya. Sadar, ternyata tadi yang membuat ponselnya terus-terusan berdering itu telfon dari Meisya.

Rasa menyesal tentu saja menghantui Alan. Namun sayang, sekarang justru gadis itu yang tidak mau mengangkat telfon Alan. Bahkan tidak mau juga untuk sekedar membaca pesannya.

Alan tahu, Meisya sedang marah dengannya. Ini semua memang kesalahannya sendiri. Kecerobohannya. Baru juga hubungannya dengan Meisya berjalan selama dua minggu. Sekarang sudah ada masalah.

Yang membuat Alan sekarang gelisah. Kenapa gadis itu tadi menelfonnya hingga puluhan kali. Alan ingin tahu alasannya.

Apakah tadi Meisya begitu membutuhkannya? Atau hanya sekedar iseng?

Tanpa membuang-buang waktu. Alan bersiap-siap untuk pergi ke rumah Meisya. Pikirannya tidak tenang jika harus seperti ini terus.

Hm, sepertinya Alan memang sudah bucin teman-teman.

"Ada kelapa di atas nampan. Eh anak papa yang paling tampan," sambut Anton dengan nada pantun ketika melihat Alan berjalan menuruni anak tangga. "Mau kemana, Lan?"

"Keluar," jawab Alan cuek.

"Maksud papa, keluar ke mana?"

"Ke dalem," sahut Erlang ambigu. Entah dari mana datangnya. Tapi dugaan Anton anak tengilnya itu baru saja pulang dari tempat nongkrongnya sejak pulang sekolah tadi.

"Si Rijal gak punya uang. Heh dakjal kenapa baru pulang?" pantun Anton sembari mengalihkan tatapannya ke Erlang. Jelas, bahwa pantun itu ia tujukan untuk Erlang.

Erlang terkekeh pelan. Kemudian duduk di dekat papanya. "Si plankton jadi nahkoda. Maaf pak Anton, karena anakmu ini sedang menikmati masa muda," balasnya dengan nada pantun juga. Tak mau kalah dari sang papa.

Membuat Anton langsung tertawa keras. Sepertinya Erlang ini memang benar-benar duplikat dirinya semasa muda. Ganteng, bandel, tengil, suka cengengesan dan tentunya hobi mengoleksi gebetan.

Alan menggeleng heran. Sepertinya papa dan adiknya memang sama-sama kurang waras. "Alan keluar dulu," pamitnya.

"Mpok ati lagi rebahan. Tiati di jalan," teriak Anton pada Alan yang sudah menjauh.

ALAN [END]Where stories live. Discover now