9: The Package

13 4 0
                                    

Tepat pukul tujuh malam, Gaby tiba di restaurant tersebut. Persis seperti apa yang dikirimkan Jihyang padanya, Gaby melihat sekeliling.

Anehnya mengapa terlihat sepi, di mana semua orang apa ia salah mendatangi tempat.

Tanpa ia sadari, seseorang tengah menatapnya dari atas sana. Dari balkon matanya terus mengarah pada Gaby yang sedang ingin menanyakan pada security yang ada, namun pria yang berdiri di atas balkon itu segera memerintahkan untuk mengirim pesan kepadanya.

“Hyeong, katakan padanya untuk segera naik. Jika tidak, gadis bodoh itu akan pulang lagi.”

Jihyang mengangguk lalu mengirimkan pesan pada Gaby untuk naik ke lantai atas, gadis itu tampak mengurungkan niatnya untuk bertanya pada security namun merasakan ponselnya bergetar di dalam tas selempangnya.

Gaby segera memeriksanya, dan mendapatkan pesan dari Jihyang untuk segera menuju ke lantai atas. Ia pun melangkah masuk, dan menaiki lift.

Gadung lantai tiga itu, memang lebih terlihat seperti studio penginapan daripada sebuah restaurant.

Dan ternyata gedung tersebut adalah rumah makan cepat saji paling diminati beberapa remaja dan kalangan artis yang pernah datang ke sana.

Namun menurut Gaby, kelihatannya biasa saja dan tampak seperti kebanyakan gedung pada umumnya.
Sampai di lantai tiga, ia mengedarkan pandangannya.

Hingga menemukan Jihyang yang sedang berbincang dengan Suho, ia menghampirinya dan sedikit terkejut saat datang ternyata Jihyang juga membawa Suho kemari.

Dia kira hanya ada mereka berdua, ternyata si tampan nan kejam seperti Suho pun diajak kemari.

“Jihyang-ssi,” panggil Gaby menyapa si manajer.

“Oh, Jung Minji-ssi. Silakan duduk,” kata Jihyang mempersilakan Gaby untuk duduk di sebelahnya.

Dengan lirikan sinisnya Suho berkata, “hanya Jihyang-hyeong saja yang disapa? Aku tidak nampak oleh matamu?” Menyindir Gaby telak, dan hanya dibalas senyuman singkat gadis itu membuatnya tambah keheranan.

Mereka pun membahas sebuah topik, yang mungkin akan menimbulkan perdebatan antara dua manusia berbeda kasta ini.

Tentang reality show yang akan Suho bintangi, sebelumya sutradara sudah mengatakan padanya untuk menunggu saja mendapat lawan main dari tim cast hunter.

Tapi tiba-tiba Suho memiliki pemikiran ini, yang sedari dulu ia tertarik pada Gaby.

Mungkin hanya masalah pekerjaan, dan ia juga masih menunggu peralihan kontrak kerja Gaby menjadi stylist pribadinya.

Hal itu tak kunjung selesai juga, maka satu kesempatan ini mungkin bisa membuat Gaby setuju dengan tawarannya itu.

Sekali lagi, mungkin jika Gaby akan menolaknya pun tidak akan bisa membuat Suho menyerah begitu saja. Sejak pertama kali mereka bertemu di lokasi pemotretan pun sikap Gaby padanya seperti sedang mengajak ribut singa tidur, ia menjadikan Suho semakin ingin membuatnya terikat dengan kontrak itu, yang dapat Suho lakukan untuk seenaknya memerintah ini dan itu.

“Ini coba kau baca dulu, Nona Minji.” Jihyang pun menyodorkan sebuah kertas berjilid yang tampak seperti proposal acara televisi.

Gaby mengambilnya lalu membacanya dengan teliti, menampilkan deretan fungsi acara dan reward apa saja yang akan didapat pemainnya. “Jadi ini maksudnya apa?” tanyanya masih belum paham juga.

Suho menghela napas lalu menatap Gaby datar. “Kau harus menjadi pasangan mainku,” ujarnya.

“Apa?!”

“J-jadi begini, Nona Minji maksud dari Suho adalah kau cukup hanya berperan seperti ... pacar baginya di dalam tayangan itu---semua hanya akting,” jelas Jihyang.

“Hm, hanya akting. Tapi bagaimana jika para fansmu melakukan hal aneh padaku? Apa aku masih hidup untuk syuting episode selanjutnya? Hah?” timpal Gaby menjadi sedikit emosi.

Sudah jelas jika Suho hanya memikirkan keuntungannya sebagai artis papan atas, dan bersikeras menghilangkan citra buruknya dengan memanfaatkan Gaby si gadis polos itu yang bahkan hanya mengerti tentang fashion dan sama sekali tidak paham akan dunia per-acting-an.

“Minji-ssi, mungkin kau tidak akan bisa menolak jika aku membayarmu dua kali lipat dari bayaran produser,” celetuk Suho membuat kepala Jihyang memutar 90 derajat ke arahnya dan menatapnya tajam dengan pernyataan yang keluar dengan santainya dari mulut Suho.

“Tetap tidak setuju.” Jihyang menghela napas lega mendengarnya. “Tapi jika kau lebihkan jadi tiga kali lipat, akan kupertimbangkan,” usul Gaby melanjutkannya membuat Jihyang kembali dengan ekspresi khawatirnya.

Sebagai seorang manajer yang bijak, ia harus segera menarik Suho dari perdebatan yag melibatkan uang lebih banyak.

“Oke, deal.”

Terlambat, Suho telah megucapkannya dan tak dapat ditarik kembali. Pria itu bukan hanya angkuh, sombong, dan dia juga suka menghamburkan uang seenaknya.

Entah masalah apa lagi nantinya jika rencana yang dirancang Suho tidak berjalan dengan lancar, apa yang akan ia lakukan jika nantinya akan segera menghadapi pemecatan langsung dari Park Sungjo, tamatlah sudah riwayat Kim Jihyang nantinya.

Hanya karena ulah seoran Cha Suho.
Hari mulai larut, Suho memutuskan untuk memberi Gaby tumpangan sekaligus rasa terimakasih untuk menyetujui permintaannya.

Walaupun Jihyang sedikit keberatan dengan itu, karena bagaimanapun Suho adalah seorang top-star yang bahkan ada paparazzi yang siap memotretnya setiap waktu kapan saja dan di manapun.

“Terimakasih atas tumpangannya, hati-hati di jalan.” Gaby mengucapkannya dari luar kaca jendela yang terbuka setengah.

“Cepatlah masuk, sebelum ada yang berhasil memotretmu. Aku tidak mau terkena masalah lebih banyak lagi,” titah Suho.

Kaca jendela perlahan naik dan menutup rapat, mobil van berwarna hitam itu pun segera melaju kembali menjauh meninggalkan tempat itu.

Lalu Gaby pun bergegas masuk dan naik ke lantai kamarnya. Sebenarnya ia terus memikirkan ini, apa sudah benar ia menyetujui tawaran pria tadi.

Bagaimana jika ia tertimpa masalah yang sama, dunia hiburan tidak kalah kejamnya dari dunia orang biasa.

Gaby tak bisa menghubungi Yumi sekarang, ia ingat dia kedatangan orang tuanya yang menginap.

Mungkin jika Gaby meneleponnya sekarang akan mengganggu Yumi, sebaiknya besok untuk memberi tahu Yumi tentang kebenarannya.

Tapi bagaiamana jika ia marah padanya karena tidak memberi tahu dari awal justru membohonginya hingga sekarang baru mengatakan kejujuran.

Sulit, Gaby memutuskan untuk memikirkannya besok. Karena ia sudah kenyang dengan traktiran tadi di restaurant.

Dan kini ia bergegas membersihkan tubuh, lalu segera tidur agar esok tak kesiangan untuk menemui sahabatnya.

‘Drrrttt ...’

Eh? Sontak Gaby tertoleh ke arah nakas.  “Halo?” tanyanya.

“Kau sudah tidur?” Sudah dapat diduga, itu suara Cha Suho mengapa ia menelepon Gaby malam-malam.

“Kau bahkan sudah tahu jika mataku masih terbuka dan mulutku masih berbicara,” timpal Gaby.

“Hanya mengingatkan, besok kujemput jam delapan. Jangan kesiangan,” kata Suho lewat sambungan.

“Hm, akan kuingat---satu hal walaupun kau tidak mengingatkan pun aku akan tetap bangun pagi, untuk memastikan apa arwahku masih pada tempatnya!” seru Gaby sedikit kesal. Entah mengapa jika berbicara dengan Suho, selalu saja ingin marah dan darah tinggi.

“Kutebak, besok kau akan merindukanku, Nona Minji,” tutup Suho memutus sambungan secara sepihak membuat dahi Gaby mengerut keheranan.

“Cih, dasar aneh! Aku bersumpah tidak akan pernah merindukanmu, Cha Suho!” seru Gaby pada speaker ponselnya walaupun sang empunya nama tak akan dapat mendengarnya karena sambungan telepon telah terputus beberapa detik yang lalu.

Stylist Love | Oh SehunOnde as histórias ganham vida. Descobre agora