:: Bab XXVI ::

393 58 15
                                    

"Apa Mas Aksa pernah nyoba melakukan kegiatan baru? Mencoba hal-hal baru itu bagus, loh, buat ngurangin depresi, Mas."

Gwen menyesap kopinya, menunggu Aksa menjawab. Pria itu membuang napas. Entah sudah yang ke berapa kali. Yang jelas, Gwen sudah tidak heran kalau Aksa akan selalu membuang napas sebelum menjawab pertanyaan darinya.

"Gak, Dok."

Begitu singkat memang. Namun Gwen tidak merasa bermasalah. Ia hanya tersenyum, kemudian kembali bertanya, "Kenapa? Terjebak di zona nyaman, kah?"

"Saya gak bisa keluar dari zona saya. Padahal, zona saya gak nyaman sama sekali."

"Bisa ceritain, gak, zonanya Mas Aksa kayak apa?"

"Menurut Dokter Gwen kayak apa?" Aksa balik bertanya. Memancing kerut di kening Gwen. "Menurut saya?"

"Hm."

Gwen berpikir sejenak. Indra penglihatannya menyebar ke landscape kota yang terlihat cantik dari atas rooftop —tempat ia dan Aksa berbincang—.

"Zona yang kelam, gelap, dan gak menyenangkan—"

Aksa mendengus. Dia seakan membenarkan secara diam-diam.

Sementara itu, Gwen melanjutkan kata-katanya yang ternyata belumlah usai, "—sekaligus zona yang bikin Mas Aksa jadi sekuat sekarang."

Di detik kalimat itu terucap, Gwen menoleh. Tatapannya beradu dengan Aksa yang melunturkan senyuman. Sempat kelihatan tidak bisa berkata-kata, walau tak lama kemudian, Aksa —lagi dan lagi— membuang napas.

"Apa saya bisa keluar dari zona itu?"

"Tentu aja bisa. Asal, Mas Aksa yakin dan percaya kalau Mas Aksa bisa. Oke?"

Gwen teringat dengan apa yang Aksa maksud. Ia pun merekahkan senyum. "Wah, bagus, dong. Saya boleh tahu, gak, keputusan macam apa yang bikin Mas Aksa sampai bisa keluar dari 'zona nyaman' Mas Aksa?"

"Keputusan karena terpaksa."

"Terpaksa?"

Aksa mengangguk lemah. Ditatapnya tangan, yang tadi siang ia gunakan untuk men-tandatangani secarik kertas dengan materai yang berisi kontrak. Tangan itu pula-lah, yang tadi ia gunakan untuk menerima segepok uang, kemudian lekas ia berikan kepada para preman yang telah dirinya janjikan.

Aksa bahkan melakukannya tanpa sempat berkonsultasi dengan Gwen, seperti yang telah ia rencanakan sebelumnya.

"Gak apa-apa. Saya gak punya hak untuk tahu apa keputusan Mas Aksa, karena itu pilihan Mas Aksa sendiri. Cukup ceritain aja apa yang bikin Mas Aksa ngerasa gak nyaman sekarang."

Gwen menjelaskan dengan suara lembutnya. Pasti karena sudah menjadi bagian dari pekerjaannya, makannya ia bisa bicara dengan suara lembut yang menyejukkan hati itu, pikir Aksa.

"Saya cuma..."

Lantas, setelah diam cukup lama, Aksa mulai menampakkan keraguannya. Sedangkan Gwen semakin tertarik untuk mendengar lebih lanjut. "Cuma...?"

"Saya cuma masih belum yakin."

Gwen menautkan kedua tangan di atas meja. Masih dengan kehangatannya, ia menyahut, "Apanya yang belum yakin, Mas?"

Aksa kelihatan memilin-milin ujung jaketnya. Ia terus menunduk, menutupi kegamangannya sendiri.

"Saya... takut, Dok."

Sejujurnya, Aksa bukan tipikal orang yang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaannya. Namun, berbeda jika di hadapan Gwen yang akan selalu tersenyum menyambut kedatangannya dan dengan kehangatan mendengar apapun yang ia katakan.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now