:: Bab II ::

1K 99 15
                                    

Kring! Kring! Kring!

Meski hanya sebuah benda kecil tak berharga, namun, jam weker yang terus berdering di atas nakas itu nyatanya mampu memancing amarah Gwen yang masih berkubang di dalam alam bawah sadarnya. Ditemani mata yang masih terpejam erat, ia berusaha menggapai pengrusak alur mimpinya tersebut tapi tidak kunjung sampai.

Bunyi nyaringnya bahkan menutupi bunyi kokokan ayam jago tetangga sebelah. Sampai-sampai, Gwen harus memaksa tubuhnya agar bisa terangkat, dan malah berakhir jatuh menggelinding dari atas ranjang. Sekarang, mari salahkan buntalan selimut yang menyangkut pada jari jemari kakinya sehingga ia jadi kehilangan keseimbangan.

Bruk!

AH! PAPA!”

Hanya dalam sepersekian detik, suara pintu didobrak dari luar menyusul jatuhnya Gwen. Seorang pria di akhir usia empat puluh tahunan dengan celemek dan spatula yang dibawanya, memperhatikan sang putri yang tergeletak tidak berdaya. Kedua matanya membelalak kaget, diiringi tarikan napasnya yang begitu dalam sampai terdengar bunyi ‘ngik’. Namun anehnya, ia masih tidak berbuat apapun, untuk paling tidak menolong Gwen yang kini meringis sakit.

“PAPA! TOLONGIN!”

Terima kasih kepada teriakan Gwen yang saking lantangnya, berhasil menyadarkan sang Papa bahwa dirinya membutuhkan bantuan. Dengan gelagapan, pria tersebut membuang spatulanya secara asal lantas tergopoh-gopoh mendekati titik dimana gadis gempal itu tergeletak. “Ya ampun! Kamu kenapa bisa sampai jatuh, sih, Gwen?! Kamu gak mimpi dikejar sama Hiu Megalodon, kan?!”

“Pah!” erang Gwen sebal, begitu Papanya mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Ia butuh beberapa waktu untuk menyeimbangkan dirinya sendiri, sebelum akhirnya memukul jam weker sialan itu dengan sedikit keras. Ya, paling tidak sampai benda tersebut terpelanting jatuh ke lantai dan kacanya pecah menjadi beberapa bagian.

“GWEN! KENAPA DIRUSAKIN JAM-NYA?!” Tidak kalah kencang seperti ketika Gwen berteriak tadi, pria yang tengah memindai keadaannya itu pun, langsung memprotes tidak suka atas apa yang putrinya lakukan terhadap benda mungil yang tak bersalah. Ia bahkan tidak segan menyentil kening Gwen, yang cukup sukses membuat gadis gempal itu melotot tidak percaya, “Pah?! Kok, malah Gwen yang disentil?! Itu, kan, emang konsekuensi jam-nya karena udah berisik!”

“Ya, tapi, jangan dirusakin juga, dong! Kalau rusak gini, nanti gak bisa berfungsi lagi, gimana?! Terus nanti kamu gak punya jam lagi?! Terus nanti kamu bangun kesiangan lagi?! Aduh, Gwen… Gwen…!”

Sambil tetap menggerutu, Papa Gwen memungut serpihan kaca dari jam weker yang telah dirusak oleh sang anak, berikut juga dengan badan jam-nya. Ia memberikan tatapan nanar, tampak mengasihani jam rusak itu seolah-olah dia adalah benda bernyawa yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

“Ya udah, sih, Pah. Kan, bisa beli—“

“Itu pemborosan namanya! Tahu, gak?!” sela Papa Gwen, lengkap dengan nada tinggi di akhir kalimat. Decakan kesal ia tujukkan pada sang putri, baru kemudian melenggang keluar dari kamar Gwen, masih terus berusaha membetulkan jam di tangannya. Meninggalkan si pemilik kamar yang langsung memutar bola matanya dengan malas, sejurus setelahnya mengekori kepergian sang Papa.

“Papa, masak apa?” tanya Gwen, mencoba menghapus atmosfer menyebalkan akibat jam weker yang sengaja ia rusak. Bokongnya mendarat di atas kursi makan, sementara matanya menjurus ke arah Papanya yang mendesah keras, tampak menyerah dengan jam weker Gwen yang diletakkannya di atas meja makan, “Ini harus diganti, nih, kacanya.”

Ish, Papa! Kan, Gwen nanya!”

“Tapi, Papa lagi ngurusin jam kamu, nih!”

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang