:: Bab XLII ::

359 52 4
                                    

"Berhenti, Pak."

"Loh? Tapi, Mas, ini masih—"

"Berhenti."

"Tapi, tadi Mbak-nya pesan—"

"Berhenti sekarang!"

Sang supir yang terkejut spontan membanting setir. Untung saja mobilnya tak menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan.

Lantas, ia bergegas menoleh untuk memastikan apakah penumpangnya itu baik-baik saja atau tidak. Akan tetapi, sebilah pisau lipat yang terbuka sudah lebih dulu dihunuskan ke arahnya, "Jangan bilang cewek yang tadi kalau saya minta diturunin di sini. Ngerti?"

Dengan ketakutan, supir itu kemudian mengangguk, "B-baik, Mas."

Selembar uang 100 ribuan dikeluarkan Devon dari saku celananya. Lalu, dilemparnya begitu saja ke arah supir taksi, sebelum akhirnya ia membuka pintu dan turun dari mobil.

"Jalan," titahnya setelah itu. Yang lekas dituruti oleh supir taksi dengan cepat-cepat menancapkan gas. Melajukan mobilnya secepat mungkin diakibatkan ancaman Devon yang mengancam nyawanya.

Devon menghela napas begitu mobil tersebut menghilang dari pandangan. Kini, ia beralih pada sebuah mobil yang berhenti tak jauh darinya.

Kedua tungkainya bergerak begitu cepat. Ia berlari menuju mobil itu hingga si pengendara yang sejak tadi sibuk memotret dirinya, panik bukan kepalang.

Belum sempat wartawan nakal itu kabur, Devon sudah lebih dulu menutup peluangnya. Menggunakan sikunya, Devon berhasil memecahkan kaca jendela mobil tersebut hingga hancur berkeping-keping.

"A-apa-apaan ini?! S-saya bisa nuntut anda, ya! J-jangan mentang anda artis—"

Devon menulikan telinga. Ia sibuk membuka pintu mobil yang terkunci dengan tangannya yang masuk melalui jendela. Dan setelah berhasil, tanpa banyak pertimbangan, ia menarik wartawan tersebut untuk keluar. Menyeretnya sampai ke pinggir jalan.

Suara gagak yang menemani lengangnya jalan raya tersebut sukses menyiutkan nyali si wartawan. Permintaan tolongnya diredam oleh angin malam yang berhembus kencang.

Dia jatuh tersungkur akibat dorongan Devon, dan berusaha secepat mungkin untuk bangkit. Sayangnya, Devon sudah lebih dulu menekan dadanya menggunakan kaki. Menyeringai ke arahnya tanpa belas kasih walau ia terus mengaduh sakit.

"Setiap orang punya batas yang gak bisa disentuh sembarangan oleh orang lain."

"T-tolong..."

"Namanya privasi. In case, lu gak tahu apa itu 'privasi'."

"L-lepas...! D-dada saya...—"

"Mungkin, Rayn bakal ngebiarin lu begitu aja. Tapi, malam ini lu udah salah dalam memilih sasaran."

Seringai tidak lagi bertengger di atas kedua sudut bibir Devon. Wajahnya mengeras ketika iris coklat terangnya berkilat penuh marah.

Bug!

Darah seketika mengucur dari hidung wartawan tersebut. Berulang kali tinju Devon melayang, melukai wajah pria di bawah tekanannya yang mulai kehabisan tenaga. Dan sebagai penutup, ia menghela napas panjang baru kemudian membeturkan kepala wartawan itu ke tanah, hingga dia tak sadarkan diri.

"Thanks. Berkat lu, gue punya pelampiasan sebelum gue 'istirahat' nanti."

...

Usai berjalan sekian kilometer, akhirnya Devon berhasil sampai di tempat tujuannya. Menggunakan kunci yang ia kubur di tanah, ia pun membuka gembok gudang tersebut lalu masuk ke dalam sana.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang