:: Bab XXXVII ::

387 65 0
                                    

"Jadi, itu kamu."

"Eh?"

"Bukan apa-apa," sangkal Rayn, tanpa merasa bersalah karena telah membuat Gwen penasaran.

Gwen memang tidak secara gamblang menceritakan apa mimpinya, atau mengakui kalau ia dan Papanya juga terlibat dalam kecelakaan yang disebabkan Aksa. Tapi, Rayn lebih mempercayai mimpinya kalau Gwen juga korban dark kecelakaan itu. Mimpi dimana ia berusaha membantu seorang gadis SMA yang merintih minta tolong di balik mobilnya yang ringsek.

Dan kini, Rayn pun tahu bahwa gadis itu adalah Gwen.

"Setelah kecelakaan itu, kamu ketemu Aksa?"

Gwen menggeleng pelan, "Saya gak ketemu dan gak pernah mikirin itu. Yang saya pikirin waktu itu cuma cari sisa duit buat lunasin biaya operasi Papa."

"Mama kamu kemana? Kenapa kamu yang harus cari duitnya?"

Tidak segera menjawab, Gwen justru merunduk. Memainkan jari jemarinya yang saling bertautan. Ada keraguan yang bisa Rayn tangkap dari mimik gadis tersebut.

"Meninggal? Atau kabur ninggalin rumah?"

Bibir Gwen tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Dia masih diam tanpa jawaban.

"Kalau gak mau jawab, ya... gak apa-apa."

Hening mengambil alih keadaan. Baik Gwen dan Rayn nampak betah tanpa suara. Mereka pun tidak mampu memungkiri betapa canggungnya atmosfer di antara mereka.

Gwen tidak tahu harus memulai topik apa. Yang memenuhi kepalanya sekarang hanyalah bagaimana bisa Rayn mempersilahkannya tetap di sana untuk mencari ketenangan. Dia pasti tidak tahu kalau apa yang ia tawarkan, menyebabkan Gwen kewalahan mengatasi degup jantungnya yang kelewat cepat sekarang.

Sedangkan di sisi lain, Rayn pun menyesali sikapnya. Serta menyesali kata hatinya untuk mencegah Gwen pergi dari jangkauannya. Kendati Gwen di sampingnya sekarang, Rayn justru merasa gelisah dengan hatinya.

Gwen pun mendesah. Sesaat, fokusnya tertuju pada bagian perut Rayn. Membayangkan luka jahitan yang ada di sana membuat Gwen terngiang-ngiang dengan apa yang telah pria itu lakukan demi Aksa.

Mungkin, kalau tidak ada Rayn yang dengan sigap menarik tangan Aksa, sudah pasti nyawa Aksa yang tak akan terselamatkan. Rayn jelas mengorbankan dirinya untuk menolong Aksa. Entah dia memang melakukannya atas dasar kemanusiaan, atau dia hanya tidak mau jika Aksa mati bukan dengan tangannya.

"Mas Rayn... kenapa ngelakuin itu tadi?" tanya Gwen, usai mengumpulkan seluruh keberanian. Pertanyaannya pun memecah keheningan.

Kerutan samar muncul di kening Rayn, "Hah? Maksudnya?"

"Itu... nolongin Mas Aksa tadi."

"Siapa yang nolongin?" jawab Rayn, terdengar ketus. Kedua tangannya bersilang di depan dada. Dagunya terangkat. Begitu angkuh. "Saya gak nolongin dia. Saya cuma gak mau dia mati gitu aja dan lepas dari tanggung jawabnya karena udah bikin saya amnesia."

"Emangnya kalau Mas Aksa harus tanggung jawab, gimana caranya? Kan, yang amnesia Mas Rayn."

Rayn membisu. Yang dikatakan Gwen memang benar. Tapi, tetap saja Aksa bersalah. Jadi, dia harus bertanggung jawab. Pemikiran semacam itulah yang Rayn yakini sekarang.

"Ya... apa, kek. Seenggaknya jangan bunuh diri, gitu. Lepas tanggung jawab itu namanya."

"Dia... ngerasa bersalah banget sama Mas Rayn." Gwen mulai bercerita. Tanpa menatap Rayn. Perhatiannya tertuju pada nakas di samping ranjang Rayn, seolah-olah benda itu terlalu menarik untuknya.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang