:: Bab XIII ::

530 68 12
                                    

Bra sudah terpasang, dan Gwen menghembuskan napas lega.

Cermin yang terpasang di atas keran memantulkan bayangan wajah Gwen yang masih dipenuhi oleh kekesalan. Rahangnya belum juga mengendur walau tamparan yang ia berikan beberapa saat lalu, sudah cukup membuat Rayn mengerang sakit.

Gwen sadar, kalau bukan karena Rayn, mungkin ia akan lupa mengenakan bra selama seharian. Tapi, cara pria itu memberitahunya terlalu awkward.

Apalagi, moment saat dirinya dipegangi oleh Rayn agar tidak terjatuh itu sudah cukup romantis. Tidak kalah dengan adegan-adegan mendebarkan hati di drama series yang ada di TV. Dan Gwen sebenarnya cukup beruntung karena berperan dalam adegan seperti itu dengan orang sesempurna Rayn Abrian.

Namun, berkat tangan Rayn yang bisa-bisanya 'ngeh' kalau tidak ada sesuatu yang biasanya menjeplak di punggung perempuan, moment romantis itu hancur seketika. Sedangkan Gwen harus rela wajahnya menjadi semerah kepiting yang baru saja direbus di kuali besar.

Gwen membasuh wajahnya dengan asal. Air bercipratan ke blouse-nya. Gadis itu mendengus kasar. Sebagai seorang perempuan, rasanya wajar bila ia merasa sebal —lebih ke malu sebenarnya—.

Masalahnya, yang menyadarkan bahwa ia lupa menutupi bagian tubuh privatnya bukanlah sesama perempuan. Melainkan seorang pria yang bahkan menempati urutan nomor satu di antara orang-orang paling menyebalkan yang pernah Gwen temui.

Sekali lagi, Gwen membasuh wajah. Napasnya agak tersenggal begitu ia mengangkat kepala untuk menatap pantulan dirinya sendiri.

Sejenak, pikirannya terdistrak oleh keadaan Rayn yang kini ia tinggalkan di ruangannya sendirian. Ia meraih tisu sambil mengingat beberapa patah kata yang Rayn ucapkan sebelum dia pingsan dipukul Milo oleh buku kedokteran setebal 1000 halaman. Kesalahpahaman memang terjadi saat itu, tapi Gwen tidak mau memikirkan yang itu sekarang.

'Devon...? Sisi lain Rayn Abrian?'

...

Seperti orang yang kelabakan karena pantatnya terbakar, Edo berlari sekencang-kencangnya dari parkiran, masuk ke dalam lobby rumah sakit. Ia sempat bertanya pada information center yang ada, tempat dimana ia bisa menemukan Gwen. Hingga akhirnya, Edo berhasil sampai di lantai lima dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang kondisi pintunya terasa janggal.

Tapi, tanpa mau memperdulikan kondisi pintu yang kenopnya tidak terpasang itu, Edo langsung menghampiri Rayn. Dibalik dirinya yang ketar-ketir karena Rayn tidak ada di apartemennya, ternyata sang artis asik memainkan ponsel sambil duduk bersandar. Seakan dia tidak peduli kalau Edo hampir menamatkan riwayat hidupnya jika dia tidak berhasil ditemukan.

Plak!

Edo menggeplak bagian belakang kepala Rayn. Persis seperti guru yang kesal karena anak muridnya sangat nakal.

"Lu kenapa bisa ada di sini, sih?! Hah?!"

Tersenggal-senggal Edo memarahi Rayn yang kini meringis. Sementara pria itu malah mendelik tidak senang, walau tidak berlangsung lama sebab tatapan tajam Edo sekarang, terlalu menakutkan.

"Y-ya, gak tahu, Bang! Bangun-bangun gue udah ada di sini!" kilah Rayn, membela dirinya sendiri.

Mungkin, jika bukan karena telfon dari Gwen, Edo pasti sudah kelimpungan melaporkan Rayn yang tidak ada di kamarnya ke kantor polisi. Makannya, seperti sudah kesetanan, Edo melakukan segala cara untuk segera sampai di rumah sakit. Ia bahkan memaksa supir van mereka untuk mengebut, tidak peduli kalau polisi lalu lintas sudah menandai plat van mereka sebagai pelanggar lalu lintas.

"Lu gak mungkin terbang ke sini, kan?!"

"Ya, gak lah! Ngarang lu!"

"Terus masa lu gak tahu kenapa lu bisa ada di sini?!" Edo menyisir rambutnya frustasi. Didudukinya bangku yang ia tarik ke hadapan Rayn. "Sumpah, ya, Rayn! Beberapa waktu belakangan ini lu selalu bikin gue pusing, tahu, gak?! Kalau Bos Tommy tahu ini kejadian lagi gimana?! Gue yang kena! Gue!"

Heal Me [ C O M P L E T E ]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα