:: Bab LV ::

322 47 7
                                    

Dari daun telinga, Edo menjauhkan ponselnya sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Tepat ketika denting jarum jam yang mengarah ke angka dua belas terdengar, pandangannya pun beralih pada Rayn yang harap-harap cemas.

"Gimana, Bang?"

Seulas senyum simpul hadir di wajah Edo, "20 menit lagi dia sampai ke sini."

Dan karena itu, Rayn mampu menghela napas leganya. Layaknya jendral yang siap berperang, hela napas leganya menciptakan raut penuh percaya diri kemudian. Kedua tangannya saling bertaut dan meremas satu sama lain.

"Ini cara yang lebih baik. Gue gak bisa biarin Devon mengambil nyawa orang lain walaupun itu untuk membalas rasa sakit yang gue rasain di masa lalu," gumam Rayn, yang lantas mengundang tepukan optimis dari Edo di atas pundaknya.

Pria brewokan itu pun tak ragu untuk mendorong sudut bibirnya lebih lebar, "Temen gue ini pengacara handal. Gue yakin, mau sekuat apapun Bos Tommy berkelit nantinya, dia pasti bisa bantu kita untuk bikin Bos Tommy bertanggung jawab. Jadi, lu gak perlu khawatir."

Keduanya lantas diam sejenak. Atmosfer yang semula terasa tidak mengenakan, sedikit mereda usai kabar baik datang. Seandainya teman Edo yang pengacara handal itu tidak bersedia membantu, mungkin, baik Edo ataupun Rayn tak akan bisa mengendurkan bahu mereka yang sejak tadi tegang.

Sampai akhirnya, hening akibat dua orang yang hanyut dalam pikiran masing-masing itu dipecahkan oleh celetukan dari Edo, "By the way, lu jadian sama Dokter Gwen?"

"Hah?"

"Lu...—" Edo menunjuk Rayn dengan dagu, dan sedetik setelahnya mengarahkan dagunya pada pintu. Tempat terakhir dirinya melihat Gwen sebelum gadis itu pergi. "—sama Dokter Gwen, jadian?"

"Kenapa tiba-tiba lu nanya itu?"

"Orang yang paling benci sama Dokter Gwen itu cuma lu. Terus tiba-tiba lu tadi mau nganterin dia pulang bahkan megang-megang tangannya dia, pasti ada yang gak beres. Makannya gue nanya."

Rayn mengusap tengkuk lehernya dengan agak canggung. Celetukan Edo berhasil mendebarkan jantungnya bahkan tanpa bisa ia cegah.

Sensasi menggelitik menguasai perutnya. Bayang-bayang gurat kecemasan Gwen atas keadaannya pun memompa lebih banyak semangatnya yang seketika membara.

"Gak usah mikirin itu dulu. Sekarang, kita harus fokus sama kasus ini." Tidak mengasihani Edo yang sudah membesarkan telinga demi jawabannya, Rayn memilih bangkit. Ia menyeret sandal rumahnya menuju dapur dengan dalih ingin membuat kopi.

Malam ini, ia harus bekerja keras mempersiapkan seluruh hal yang dibutuhkan untuk membuat laporan. Tak ada banyak waktu yang tersisa untuknya menyeret Bos Tommy ke penjara.

Mau tak mau, Rayn harus berlomba dengan waktu. Juga dengan berbagai kemungkinan tak terduga yang bisa menghancurkan rencananya.

...

Audy menatap kosong pada jalanan lengang yang dilewati mobil sedan itu. Sementara di sampingnya, terduduk Bos Tommy yang tidak berhenti menelfon sang asisten dan memberinya berbagai macam perintah. Salah satunya mengenai rapat pemegang saham yang harus segera dilaksanakan untuk menunjuk pemimpin baru Tree Entertainment.

Telah berkali-kali Audy mengemis. Namun, entah terbuat dari apa hati sang Daddy yang tetap berpegang teguh pada keputusannya. Dia tak mengakui kesalahannya, justru melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan diri.

"Untuk sementara, kita akan tinggal di Singapura. Kita gak akan kembali ke Indonesia sampai Rayn bisa kita kendalikan."

Alis Audy bertaut. Keheranan muncul di wajahnya, "Apa maksud Daddy mengendalikan Rayn?"

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now