:: Bab VI ::

675 71 4
                                    

"He...?"

Nada penuh angkuh yang terdengar dari bagaimana pria tersebut berbicara, nyatanya sukses mengembalikan kesadaran Gwen. Ia spontan mengerutkan kening, mempertanyakan maksud dibalik pernyataan pria tersebut yang terasa janggal untuknya. Akan tetapi, pria tersebut justru kembali berbicara, dan lagi-lagi, mengabaikan Gwen yang harus terbengong-bengong karena tidak mengerti apa-apa.

“Sebenarnya, saya juga gak berminat untuk ngelakuin pemeriksaan-pemeriksaan kayak gini, kalau bukan karena paksaan manajer saya. Dan ini bakalan jadi pertemuan terakhir kita setelah anda kasih saya resep obatnya sekarang, supaya saya bisa cepat-cepat pulang.”

"Hah?"

Tepat beberapa detik setelahnya, Gwen meloloskan tawa. Ia tidak bermaksud mengejek, hanya saja, ucapan pria di hadapannya itu terlalu konyol untuknya. Gwen berharap dirinya sudah salah dengar, tapi, bagaimana ia bisa memberi resep obat di saat ia belum tahu apa yang dialami pria tersebut sebenarnya?

Bahkan, anak kecil pun tahu untuk mendapatkan obat dari dokter, orang yang sakit harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Bukan asal nyeletuk dan meminta, seakan-akan dokter adalah cenayang atau dukun yang bisa mengetahui penyakitnya melalui telaah mata batin.

“Mas, anda lagi ngajak saya bercanda, ya?”

“Gak mungkin saya ngajak anda nikah, kan?”

Gwen membisu akan kata-kata yang satu itu. Betapa sinis pria di hadapannya menyahut, begitu pula dengan pandangannya yang menilik tidak minat pada dirinya, sukses memancing emosinya semakin membara. Tanpa diperhatikan seperti itu, Gwen tahu dirinya tidak akan cukup pantas bersanding dengan pria semenawan pria di hadapannya. Namun, harusnya dia masih bisa menjaga pandangan agar tidak melukai perasaan Gwen, kan?

Oh, katakanlah Gwen terlalu sensitif. Tapi, kalau bukan karena ia tidak berhenti bersin-bersin dan diserang pusing setelah menolong pria aneh nan menyebalkan yang menampakkan wajah kakunya itu, pasti Gwen tidak perlu tersiksa dan tersulut dengan mudahnya seperti ini.

"Siapa juga yang mau nikah sama anda?"

Rayn sempat terhenyak, meski tidak terlalu lama karena dia segera menegapkan tubuhnya untuk menunjukkan bahwa ia tidak sedang bercanda, seperti apa yang wanita di hadapannya katakan. Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum simpul sederhana.

"Seharusnya, kalau anda itu profesional, bisa dong tahu saya kenapa tanpa harus tanya-tanya? Apa semua yang saya alamin gak bisa langsung kelihatan sama anda?"

Untuk kesekian kali, Gwen tertembak anak panah berupa pernyataan tidak logis dari pria yang tidak kunjung mengerti perkataannya. Ia sampai melongo, lagi dan lagi, hanya untuk memahami bagaimana pernyataan itu bisa lolos selayaknya anak TK yang berkata, 'Mama, kan, jago masak. Pasti bisa bikin perkedel kentang, kan?'

Gwen sudah merencanakan untuk melakukan pemeriksaan singkat agar bisa cepat-cepat pulang. Tapi, nampaknya, pasien yang satu ini tidak akan membiarkannya bisa pulang dengan mudah sebelum memberi resep obat seperti yang dia minta.

"Mas, tolong Mas-nya ngerti, ya. Untuk dapat resep obat, kita perlu pemeriksaan. Saya bukan dukun yang bisa tahu keadaan Mas cuma lihat dari garis tangannya doang."

"Siapa juga yang nyebut anda 'dukun'? Saya bilang kalau anda itu profesional dan harusnya bisa ngerti permasalahan saya tanpa harus buang-buang waktu cuma untuk nanya-nanya. Kalau bisa, langsung aja kasih resep obatnya. Saya yakin, anda udah nanganin banyak pasien. So pasti, anda harusnya bisa terbiasa untuk tahu walaupun lihat sekilas."

"Mas, saya pikir saya udah bilang cukup jelas, ya, di awal. Bagaimanapun, kita perlu pemeriksaan—"

“Udah, lah. Saya lagi gak bercanda, apalagi cuma buat berargumen gak jelas kayak gini. Saya gak punya banyak waktu untuk itu. Saya sibuk. Harusnya anda tahu itu, oke? Jadi, cukup tulis resep obatnya sekarang supaya saya bisa cepat-cepat pulang.”

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang