:: Bab LXVII ::

290 42 3
                                    

"Gimana tadi?"

Hela napas panjang Rayn cukup untuk menjawab pertanyaan Edo. Dengan cepat dirinya bisa mengerti.

"Kita coba lagi besok," ucapnya, memberi dukungan. Sementara yang disemangati bersandar lesu dengan sorot mata putus asa.

"Papanya Gwen udah benci banget sama gue, Bang."

"Benci bisa jadi suka, Rayn. Asal lu niat dan mau berusaha buat luluhin hatinya beliau."

"Tapi,—"

"Lu, mah, kebanyakan 'tapi'. Yang harus lu yakinin sekarang adalah lu pasti bisa dapat restu buat menikah sama Dokter Gwen. Titik. Gak usah pikiran hal lain apalagi negative thinking. Kemungkinan-kemungkinan buruk itu cuma ada di kepala lu doang. Belum tentu jadi kenyataan."

Akan mudah bagi Edo untuk mengatakannya. Sayangnya, pria brewokan itu tidak merasakan langsung posisi Rayn saat ini.

Rayn menjatuhkan pandangan pada kedua kakinya. Ucapan Papa Gwen tadi bagaikan garis pembatas yang sengaja dibentangkan agar ia tahu batasan.

Kendati sudah sering berpikir seperti ini dan lelah karena harus terjebak dalam pemikiran ini, tapi, malam ini Rayn terpaksa memikirkannya kembali. Jika saja kejadian itu tak terjadi, mungkin kondisinya tidak akan jadi seperti ini. Mungkin, bila ia tidak terlambat mencegah ledakan itu, kakinya pasti masih bisa berfungsi.

Wajah lesu Rayn menandakan dirinya sangat frustasi. Se-frustasinya ia yang menginginkan kaki normalnya seperti dulu lagi.

Edo mencuri pandang ke arah Rayn. Melihat pria itu terus memandangi kakinya sendiri, ia pun langsung berdehem keras. Berusaha mengalihkan perhatian Rayn agar dia tidak terbelenggu oleh keputus-asaan.

"Dokter Gwen bisa nerima lu apa adanya, kok, Rayn. Gue tahu, lu mulai mikir yang gak-gak sekarang. Gak usah dipikirin, oke?"

Rayn menyahut ucapan Edo dengan hela napasnya yang sekali lagi memberi tanda tak mengenakan. Sejak tadi pundaknya sudah merosot jatuh. Tidak tersisa sedikit pun semangat yang membara di hatinya usai pertemuan dengan Papa Gwen beberapa saat lalu. Ia benar-benar seputus asa itu.

"Percuma, Bang, kalau dia bisa nerima gue tapi dia gak bahagia."

"Siapa bilang Dokter Gwen gak bahagia, Rayn?"

Edo memutar mobilnya memasuki jalan tol selagi matanya menatap ke arah Rayn selama beberapa detik, "Gak ada orang yang gak bahagia tapi bisa ngajakin cowoknya untuk nikah. Dengan Dokter Gwen ngajak lu nikah aja, berarti dia udah yakin buat menghabiskan sisa hidupnya sama lu."

Dalam diam, Rayn membenarkan. Namun, hanya sebagian kecil hatinya yang membenarkan. Sementara sisanya dirundung perasaan bimbang dan tak percaya diri.

"Kayaknya Gwen ngelantur, deh, pas ngomong itu tadi pagi. Dan gue juga pasti lagi mabuk karena ngeiyain gitu aja. Harusnya gue mikirin ini lebih matang lagi."

Edo memutar bola matanya malas, "Gue yakin kalau Dokter Gwen dengar ini dia bakal ngamuk. Bisa-bisanya lu ngomong begitu."

"Ya... terus gue harus gimana, Bang? Dengan kondisi diri gue, terus dengan keadaan Papa Gwen yang benci sama gue, ini terlalu sulit buat gue, Bang."

"Jadi, lu mau nyerah gitu aja? Bahkan setelah lu ngomong langsung ke Papanya Dokter Gwen kalau lu mau nikahin anaknya? Setelah lu menyanggupi ajakannya Dokter Gwen? Lu baru kepikiran konsekuensinya sekarang terus semudah itu lu bilang kalau ini sulit dan lu mau nyerah?"

"Lu gak tahu posisi gue sekarang kayak apa. Lu pikir dengan kaki lumpuh ini, gimana caranya gue bisa nafkahin Gwen nanti? Kalau gue menikah sama Gwen, gue cuma bakal ngerepotin dia. Dan dengan keadaan itu, Papanya Gwen pasti bakal semakin nyudutin gue. Gue gak mau itu, Bang."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now