:: Bab XXXI ::

377 66 2
                                    

Napas Rayn seakan berhenti saat ia merasakan sesuatu mengentak dadanya dengan kencang. Ia pun buru-buru membuka mata, namun, tidak ada benda berat apapun yang jatuh di atas tubuhnya.

Secepat mungkin, Rayn beradaptasi dengan kondisi di sekitarnya saat ini. Lagi-lagi, tempat yang asing dan baru menyapanya dari tidur. Sebuah tempat yang tidak semestinya Rayn berada di sana.

Tidak ada lagi angin malam yang membekukan. Hanya ada angin sepoi khas perbukitan dengan suara gesekan ilalang yang ditiup kencang. Rayn bisa merasakan sedikit kesegaran ketika ia menghirup udara.

Pakaian yang melekat pada tubuhnya masih sama dengan pakaian yang mestinya ia kenakan untuk syuting. Itu berarti, Rayn belum keluar dari alam mimpinya. Hanya berpindah tempat.

Rayn melepas pandangan ke seluruh penjuru arah. Di sekelilingnya dipenuhi oleh rerumputan ilalang yang tinggi-tinggi. Sebuah bangunan yang berada di ujung sebelah selatan-lah yang kemudian menghentikan pemantauan Rayn.

Meskipun tidak yakin, Rayn memberanikan diri untuk mengurai langkahnya menuju bangun tersebut. Menggunakan tangan, ia menyingkirkan tiap ilalang yang menutupi jalan.

Sepatu pantofel Rayn berhenti sekian meter dari teras bangunan yang ternyata sebuah rumah. Ada pagar dari kayu yang membentengi rumah tersebut. Bentuk bangunannya sederhana dan minimalis. Cocok sekali dengan komponen di sekitarnya yang dikelilingi kebun ilalang serta bukit di belakang sana.

"Rayn?!"

Terhenyak Rayn begitu ia menangkap sebuah suara yang menyerukan namanya. Ia lekas menoleh, dan langsung menemukan seorang wanita tengah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Melambai ke arahnya.

"Ibu...?" Rayn bergumam tanpa sadar. Wajah wanita itu sama persis dengan wajah yang ada di foto Ibunya. Mulai dari senyum hingga sorot matanya yang teduh. Sama persis.

Dada Rayn bergemuruh ketika wanita itu berjalan mendekati posisinya. Sebuah perasaan yang membuncah hebat di dalam dirinya menyebabkan tubuh Rayn gemetaran.

Rindu.

Entah karena angin yang berhembus atau karena ia yang tidak cukup kuat menahan kerinduan, mata Rayn mulai berkaca-kaca. Terlebih ketika wanita itu terus mendekat kepadanya, ditemani senyum yang menenangkan.

Tapi, alih-alih berhenti di hadapannya, wanita itu justru terus berjalan. Melewati Rayn begitu saja, bahkan tanpa melirik ke arahnya sama sekali. Dan hal itu menghantarkan sakit yang luar biasa di hati Rayn.

"Rayn!"

"Ibu!"

"Lihat, Ibu bawa apa buat Rayn?"

"Jagung!"

"Pintarnya anak Ibu."

Mendengar percakapan itu, Rayn memaksakan dirinya untuk balik badan. Dari tempatnya berdiri, ia menemukan wanita itu menghampiri seorang bocah laki-laki sambil menunjukkan beberapa buah jagung. Tawa mereka mengudara, terdengar sangat bahagia meski hanya karena hal sederhana.

Itu adalah Ibunya, bersama sosok Rayn yang masih kecil.

Lantas, wanita itu mengupas jagung yang ia bawa dengan dibantu si bocah laki-laki. Mereka saling melempar canda lalu tertawa bersama. Menjahili satu sama lain untuk bersenang-senang.

Kehangatan dari keduanya mampu dirasakan oleh Rayn yang tidak sekalipun berkedip. Tatapan nanarnya tertuju kepada mereka berdua.

Lalu, setelah jagung mentah telah dikupas, sang Ibu memasukkannya ke dalam air yang telah mendidih di atas kompor. Kelihatannya, wanita itu sengaja memasaknya di teras agar bisa menikmati cuaca yang sangat bagus saat ini.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now