:: Bab L ::

327 48 4
                                    

Tanpa tahu ada kecemasan dari orang yang sedang memperhatikan di luar kamar, Devon merapikan selimut Bu Ani. Ia memastikan wanita itu tetap merasa hangat, sebelum akhirnya mendaratkan bokong untuk duduk di kursi. Lantas meraih tangan keriput Bu Ani dan menggenggamnya dengan erat.

Bu Ani membiarkan tangannya di dalam genggaman Devon yang mampu menuntaskan kerinduannya akan sosok ‘Jajang’. Ada senyum yang ia lempar pada Devon atas semua hal yang sudah pria itu lakukan untuknya. “Terima kasih, ya, kamu udah datang ke sini dan nengokin Ibu. Ibu kangen banget sama kamu.”

“Saya juga kangen sama Ibu. Maaf karena bikin Ibu nunggu lama.”

Helaan napas Bu Ani mengiringi ucapannya kemudian, “Kayaknya, setelah ini Ibu harus minta maaf sama Dokter Gwen. Setelah dipikir-pikir, Ibu udah kasar banget sama dia kemarin.”

Devon tercenung karena nama yang diucapkan wanita setengah baya di hadapannya itu. Tapi, ia berusaha untuk bersikap senormal mungkin lalu bertanya, “Memangnya, Ibu ngapain Dokter Gwen? Ibu ada salah sama Dokter Gwen?”

Penyesalan terlukis di gurat wajah Bu Ani ketika ia mengangguk, “Kemarin, dia janji untuk bawa kamu ke sini. Tapi, ternyata dia gak bisa nepatin itu. Karena Ibu terlanjur kesal dan kamu gak kunjung datang ke sini, Ibu ngejutekin dia. Ibu bahkan buang bunga mawar yang dia kasih. Ibu… jahat, ya?”

Devon butuh waktu untuk menjawab. Ia terdiam sejenak, tanpa sadar mengendurkan genggamannya pada tangan Bu Ani. Diam-diam, sedang memasrahkan dirinya yang dirundung perasaan bersalah.

“Ibu jahat, ya, Jang?”

Pertanyaan itu pun merenggut kesadaran Devon. Senyumnya kelihatan canggung, “Lebih baik, Ibu minta maaf nanti kalau ketemu Dokter Gwen, ya. Kan, aku udah datang ke sini. Itu berarti, Dokter Gwen udah nepatin janjinya sama Ibu.”

Bu Ani mengiyakan saran itu, sebelum akhirnya membiarkan keheningan menguasai keadaan. Akan tetapi, tak berapa lama kemudian, suara Devon pun memecah keheningan tersebut.

“Bu?"

"Hm?"

"Saya… mungkin gak bisa sering ke sini lagi nantinya.”

Loh? Kenapa?” Kerutan muncul di antara alis Bu Ani.

“Ya… karena aku gak punya waktu banyak lagi. Jadi, Ibu harus sehat-sehat, ya, di sini. Jaga diri baik-baik.”

Bu Ani tampak berpikir karena jawaban aneh Devon. Meski tidak butuh lama hingga ia memasang senyumnya kembali, “Ah, pasti kamu harus sibuk ngurusin usaha roti kamu, kan?”

“Usaha… roti?” Kini, Devon yang dilanda kebingungan. Terlihat jelas melalui kerutan di antara alisnya.

“Dokter Gwen bilang, kamu sekarang jadi pengusaha roti dan usaha kamu laris banget makannya kamu bisa masuk TV.”

Seperti sebuah tangan, penjelasan Bu Ani pun berhasil mengurai benang kusut di dalam kepala Devon. Dan karena penjelasan itu juga, Devon harus kembali termenung.

Ada sebuah perasaan hangat yang menyerbu hatinya. Gwen bahkan mengarang hal semacam itu hanya untuk menenangkan pasiennya yang satu ini. Di lain sisi, dirinya juga diuntungkan sebab tidak perlu terganggu karena tuntutan Bu Ani untuk menemui ia yang selalu dianggap sebagai ‘Jajang’.

Devon tersenyum kecut. Rasanya, semakin sulit untuk benar-benar pergi. Ego untuk tetap bertahan di sini, dan membiarkan Rayn menggantikan tempatnya di kegelapan di dalam sana, jadi menguat.

Tapi, beruntungnya, akal sehat Devon masih berjalan. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap kokoh pada keputusannya. Secepatnya menyelesaikan masalah kemudian segera menghilang. Seperti yang Gwen minta.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now