:: Bab LXXI ::

297 34 1
                                    

Sirine berbunyi nyaring. Semua kendaraan langsung menyingkir. Memberi akses bagi kendaraan putih itu untuk mengejar waktu yang tersisa.

Hingga akhirnya, tempat yang dituju pun berada di depan mata. Kedua ambulance tersebut berhenti tepat di depan pintu bertuliskan 'IGD' yang langsung disambut oleh dokter yang bersiaga.

Dio yang tadinya sedang berjaga, langsung menghampiri ambulance yang datang. Ia sempat terkejut saat Gwen muncul dari dalam kendaraan itu. Gadis itu nampak ketakutan.

"Dokter Gwen?"

Gwen mencengkram lengan Dio. Meminta pertolongan, "Dok, tolongin Papa dan calon suami saya. Tolongin mereka, Dok."

Dio mengamati kedua pasien yang tergeletak di atas ranjang. Keduanya sama-sama memiliki luka yang cukup serius. Tapi, yang satu keadaannya jauh lebih memprihatinkan.

"Dokter Gwen tenang dulu. Kita bawa pasien ke dalam, ya. Akan saya siapkan ruangan operasi untuk mereka."

Para perawat berduyun-duyun mendorong kedua ranjang tersebut memasuki IGD. Satu ranjang di bawa ke ruang operasi di sisi kanan sementara yang satunya lagi di bawa ke ruang operasi di sebelahnya.

Gwen yang ingin ikut ke dalam, langsung dicegat oleh Dio. "Dokter Gwen tunggu di sini, ya."

"T-tapi, saya mau lihat keadaan Papa saya dan Rayn, Dok."

"Dokter Gwen gak bisa ikut ke dalam. Biar saya tangani mereka dulu, Dokter Gwen tunggu di sini sambil berdoa yang terbaik untuk mereka. Oke?" saran Dio, yang kemudian langsung masuk ke dalam ruang operasi Rayn terlebih dahulu.

Gwen mematung di depan ruang operasi. Wajahnya sangat pucat. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Tangannya yang terkepal gemetar hebat. Mengingat bagaimana mengerikannya kejadian tadi membuatnya tak bisa duduk dengan tenang.

Harusnya, malam ini ia bisa bernapas lega karena sang Papa akhirnya mau memberikan kesempatan lain untuk Rayn dan untuk hubungan mereka. Namun, ia justru berakhir di sini dengan ketakutan yang meremas ulu hatinya.

Seandainya Rayn tidak berlari untuk mendorong Papanya, mungkin dia tidak akan tertabrak hingga terpental. Tapi, jika Rayn tak menolong Papanya, justru sang Papa yang tidak akan selamat.

Semua terjadi begitu cepat. Gwen tak bisa mencerna apa yang terjadi di depan matanya. Ia baru tersadar ketika orang-orang ramai mengerubuni mobil yang hampir mencelakai Papanya sekaligus mobil yang telah menabrak Rayn.

Begitu ia mendekat, Rayn sudah tergeletak dengan darah mengalir dari belakang kepala dan tangan yang terangkat, seolah mencari keberadaannya. Sedangkan sang Papa langsung tak sadarkan diri setelah tubuhnya membentur beton pembatas jalan.

Kejadian ini membangkitkan dua trauma Gwen sekaligus. Ia pernah hampir kehilangan Papanya karena kecelakaan 10 tahun lalu. Ia pun pernah 'kehilangan' Rayn yang katanya tak berhasil diselematkan dari tragedi 1 tahun yang lalu itu. Gwen tak tahu akan jadi seperti apa dirinya jika harus kehilangan dua orang yang dicintainya sekaligus.

Tidak ada hal lain yang mengisi kepala Gwen saat ini, kecuali kenangannya bersama dua orang itu. Hadirnya kenangan tersebut memperparah ketakutan yang ia rasakan.

Meski pandangannya kosong, tapi bola mata Gwen sudah berkaca-kaca dan memerah. Ia mengabaikan suara orang-orang di sekitarnya dan hanya diam seperti patung. Benar-benar termangu layaknya mayat hidup.

Aksa yang sejak tadi berada di belakang Gwen, lantas menatap punggung gadis itu dengan tatapan nanar. Sesaat setelahnya, perhatiannya tertuju pada telapak tangan Gwen yang kotor oleh darah Rayn yang telah mengering.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang