:: Bab XXXIV ::

423 69 12
                                    

Berhadap-hadapan dengan orang yang telah membuat kita senam jantung pagi-pagi bukanlah hal yang menyenangkan. Dan itu dirasakan oleh Gwen yang tidak bisa pergi kemana-mana untuk sekarang. Paling tidak sampai Edo kembali dan menggantikan peran Gwen menjaga Rayn.

Sebisa mungkin, Gwen menghindari adanya kontak mata dengan Rayn. Ia berpura-pura sibuk dengan interior ruang makan. Bisa saja, Gwen mengalihkan kegugupannya dengan memainkan ponsel. Sialnya, benda pipih itu sudah mati sejak beberapa menit yang lalu karena Gwen lupa mengisi dayanya semalam.

"Lukanya... udah diobatin, kan?"

Jujur, Gwen tidak siap jika harus diajak berbicara sekarang. Makannya ia perlu berpikir selama beberapa saat. Tanpa memperdulikan pria di hadapannya yang harus menunggu untuk sebuah jawaban.

Gwen berdehem cukup kencang, "U-udah."

"Tadi Devon keluar?"

"H-hah?" Melupakan usaha kerasnya sejak tadi, Gwen bisa dengan cepat menoleh. Alhasil, iris matanya langsung bertubrukan dengan iris coklat terang yang menatapnya begitu lekat di balik kesenduan.

Gwen tidak cukup mampu mengendalikan kerja otaknya yang langsung mengingat dekapan Rayn. Seakan-akan, di dalam bola mata pria itu, tengah terputar kejadian yang membuatnya persis seperti patung tadi. Dan Gwen merasa kewalahan dengan degup jantungnya yang lagi-lagi meningkat tajam.

'Gwen! Sadar! Yang lu hadapin itu Rayn Abrian! Bukan Devon!'

"Saya pikir dia bakal keluar. Tapi, kayaknya gak." Rayn menjawab sendiri. Tampaknya, dia enggan mengharapkan jawaban dari Gwen yang malah terbengong-bengong. Sebentar lagi, gadis itu pasti akan kemasukan hantu penunggu apartemen.

Untungnya, suara pintu yang terbuka berhasil menyadarkan Gwen. Prediksi Rayn pun terpatahkan.

"Eh, lu udah sadar, Rayn?" Edo datang dengan sebuah plastik. Ada tiga sterofom di dalamnya. Pria brewokan itu lantas mengambil duduk di kursi tunggal, di antara Gwen dan Rayn.

"Ada yang sakit lagi, gak? Kata Dokter Dio, lu harus banyak istirahat, loh." Sambil mengeluarkan ketiga sterofoam dari dalam plastik, Edo memperingati Rayn. Sedangkan pria tampan itu tidak menggubris. Terlalu sibuk beradu pandang dengan Gwen.

Edo pun jadi tidak tahan, "Kalian kenapa, sih?"

Keringat membasahi telapak tangan Gwen. Sungguh, bukan keinginan dirinya untuk terus menaruh perhatian pada Rayn yang juga tidak beralih darinya. Salahkan bagaimana iris coklat terang milik pria itu mengunci dirinya sehingga Gwen tidak kuasa berpaling walau sedetik pun. Gwen seperti terhipnotis, dan bodohnya, ia terus mengingat bagaimana Rayn memeluknya dengan sangat erat tadi.

"Lupain yang tadi. Jangan kira saya begitu karena saya suka, ya. Cuma reflek doang itu." Kata-kata itu Rayn tujukkan pada Gwen, sebelum akhirnya membuka sterofoam berisi bubur ayam di hadapannya. Menyebabkan Gwen yang sejak tadi bungkam, seketika menganga.

Bayangan tentang Rayn yang memeluknya pun seketika melebur menjadi abu. Rayn menampar Gwen dengan kata-kata serta nada bicaranya yang angkuh itu.

Gwen mendengus sebal, "D-dih! S-siapa juga yang mikir Mas Rayn suka sama saya? Gak usah ge-er!"

"Kamu bengong karena kamu kebayang-bayang sama yang tadi, kan?"

"E-enggak!" Gwen terbata-bata. Aliran darahnya semakin naik dan menyebabkan wajahnya memerah.

"Gak usah pura-pura, deh. Pasti kamu senang, kan, saya gituin?" Rayn kembali menyahut. Kelihatannya, dia belum mau berhenti sampai Gwen memberikan pengakuan yang sesuai dengan apa yang dirinya inginkan.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang