:: Bab LXV ::

269 38 1
                                    

Mempertaruhkan perasaannya. Merubuhkan ketakutannya. Menumpas pikiran negatif yang selalu membebani pundaknya. Hal-hal itu yang Rayn lakukan hingga akhirnya ia bisa berada di sana. Menghentikan pergerakan roda dari kursi rodanya tepat di hadapan Gwen yang tengah membalas tatapannya sekarang.

Mustahil jika jantung Rayn tidak berdebar. Dadanya seperti terkoyak dan perutnya seakan tengah dipelintir. Keringat dingin membasahi telapak tangannya begitu manik coklat terangnya bertubrukan dengan bola mata Gwen yang tampak berkaca-kaca. Dalam diam, ia pun menerka-nerka.

Apakah Gwen tidak senang dengan kehadirannya di sana? Apa mungkin, memang sudah seharusnya ia tidak pernah muncul di hadapan gadis itu?

"Maaf, Gwen."

Suaranya yang gemetar, mengalun menyaingi deru angin malam. Wajahnya yang tegang berusaha melunak. Rayn mencoba tersenyum, walau nyatanya hasilnya tidak cukup memuaskan. Ia tidak bisa tersenyum menghadapi Gwen yang tak banyak bereaksi kecuali menatapnya lekat-lekat. Jika boleh jujur, tatapan penuh kekecewaan yang gadis itu layangkan sukses merenggut seluruh keberanian yang susah payah ia pertahankan.

Sementara itu, Gwen merasa tubuhnya tidak menapak. Seperti sedang di alam mimpi yang membuat tubuhnya mengawang. Mimpi yang mencekam dan terlalu nyata. Bulu kuduk di balik pakaian yang ia kenakan bahkan turut meremang.

Ia bergidik ketakutan. Ia ingin marah dan meluapkan kekecewaan. Namun di sisi lain, Gwen juga merasa dirinya sedanh terbang di atas awan kebahagiaan dan mampu bernapas lega.

Kendati terlampau sulit untuk dipercaya, tapi kehadiran Rayn dengan kursi rodanya itu seolah-olah menjadi bentuk perwujudan dari harapan yang selama ini terpendam di dalam hatinya. Gwen bahkan bingung dengan perasaannya sendiri. Ini terasa aneh dan membingungkan. Ia benci sekaligus berbunga di saat bersamaan.

"Saya tahu saya salah, Gwen. Saya bersembunyi dari kamu untuk waktu yang lama. Tapi, sungguh. Gak pernah sedetik pun saya bisa menikmati waktu-waktu itu. Saya merindukan kamu, Gwen."

"Lalu... kenapa?" sahut Gwen, usai membasahi tenggorokannya yang tercekat dan terasa perih. Sekuat tenaga ia bertumpu di atas kedua kakinya yang sudah lemas. Gwen hanya merasa dirinya harus tetap bertahan untuk mendapatkan kejelasan secara langsung dari pria itu.

Sedangkan yang ditanya, tidak segera menjawab. Pria itu menunduk dalam. Berkali-kali menghela napas. Tidak berhenti meremas-remas tangannya sendiri yang berkeringat.

"Jawab..." Gwen menagih. Suaranya terdengar parau.

"Saya... cuma gak berani menghadapi kamu."

"Kenapa... gak berani?"

"Kamu jelas bisa lihat kondisi saya sekarang," jawab Rayn lagi, berbisik pelan. Tidak cukup percaya diri dengan apa yang baru saja terucap dari bibirnya.

Secara otomatis, Gwen langsung mengerutkan keningnya. Di detik yang sama, bola matanya menjelajah 'keadaan' yang Rayn maksud. Dengan duduknya pria itu di kursi roda, memang memberikan kesan yang tidak mengenakan. Namun, bukan jawaban 'aneh' seperti itu yang ingin Gwen dengar.

"Hanya karena itu?" ulang Gwen, tak percaya. Membuat Rayn langsung mengangkat wajahnya dan seketika terdiam.

"Hanya karena itu, Mas Rayn membiarkan semua orang mikir kalau Mas Rayn udah meninggal? Iya?"

"Gwen, bukan begitu-"

"Bahkan Mas Rayn nyuruh Aksa, Audy dan juga Papa saya untuk tutup mulut tentang ini? Mas Rayn nyuruh mereka menipu saya selama ini, kenapa?"

"Gwen... saya minta maaf."

"Jawab pertanyaan saya."

"Gwen, tolong maafin saya..."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now