:: Bab XL ::

446 68 6
                                    

Rayn tak bisa mencegah perhatiannya yang langsung tertuju pada pria di sebelah Om Heru yang dengan gamblangnya menyetujui. Tak seperti Om Heru yang wajahnya bisa Rayn lihat dengan jelas, sebagian wajah pria tersebut tertutup oleh bayangan gelap dari dedaunan pohon.

Hanya kepulan asap yang menguap dari mulutnya yang masih mampu Rayn temukan. Dan menyadari bahwa pria itu mengatakannya semudah ia menyetujui pendapat seseorang mengenai masakan di restoran mana yang paling enak, luka di hati Rayn semakin menganga.

“Kalau gak ada Mas Tommy, mungkin saya udah mengotori tangan saya untuk ngebunuh dia.”

“Santailah. Lagipula, saya mendapatkan imbalan yang setimpal. Menghabisi pria seperti dia bukanlah masalah besar untuk saya.”

Di saat bersamaan, sekelebat bayangan hadir di dalam kepala Rayn. Seperti sebuah film usang yang diputar ulang, Rayn bisa melihat dengan jelas Ibunya yang jatuh tersungkur ketika dua orang petugas kepolisian mengabarkan Ayahnya ditemukan tewas karena kecelakaan. Di scene lain, Rayn melihat ada peti mati yang sepanjang malam ditangisi oleh Ibunya. Sementara dirinya hanya duduk termenung, meratapi foto sang Ayah yang dipajang di atas peti mati. Melalui senyum pria di dalam foto itu, Rayn disuguhkan kenangan manis di antara mereka berdua.

Lalu, beralih ke saat dimana Rayn melihat sosok kecilnya membawa sebuah pigura foto wajah sang Ayah dengan senyuman hangatnya yang begitu lebar. Hujan membuat sesi pemakaman begitu suram. Di situ, Rayn kecil sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak jatuh. Padahal, hanya dengan melihatnya, Rayn bisa merasakan tubuhnya seperti dipukul hingga ia tak punya banyak kekuatan untuk bertahan.

Remasan tangan Rayn pada sisi samping celananya menguat. Seiringan dengan rahangnya yang mengeras hingga tercipta bunyi gemeletuk dari gigi-giginya yang beradu. Kesedihan yang melingkupi dirinya bertransformasi menjadi kemarahan yang tidak bisa Rayn tahan lebih lama. Hentakan keras dari kaki yang berjalan menuju kedua pria tersebut, menunjukkan itu semua.

Sungguh, memukuli mereka berdua sampai sekarat juga sepertinya tak akan cukup untuk membalaskan apa yang telah mereka perbuat terhadap Ayahnya. Rayn sangat amat paham bagaimana dunianya menjadi hancur ketika Ayah kebanggaannya meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Lara pada sorot mata Ibunya yang berhasil ia ingat sedikit demi sedikit pun tak cukup ampuh disembunyikan hanya dengan senyuman. Dan Rayn benci mengetahui ia bisa merasakan kesakitan yang dialami Ibunya selepas kepergian sang Ayah.

Rayn benci melihat Ibunya terluka, seperti kehilangan separuh nyawanya. Sementara dua pria yang menjadi dalang dibalik kematian Ayahnya, justru bisa tertawa seraya menghembuskan kepulan asap berbau tembakau dari mulut mereka.

Rayn telah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sedangkan sebelah tangannya berhasil mencengkram kerah kemeja yang digunakan oleh pria dengan panggilan ‘Mas Tommy’ itu. Menariknya dengan kasar hingga separuh wajah yang semula tak terlihat, kini bisa Rayn lihat seluruhnya.

Namun, alih-alih mendaratkan kepalan tangannya yang sekokoh batu, Rayn malah diam begitu tangannya terjatuh begitu saja. Wajahnya yang mengeras tiba-tiba saja melunak. Ia terperangah, kembali terjebak di dalam keterkejutan yang membuat otaknya blank seketika.

Satu tetes air mata yang sejak tadi sudah tak sabar menunggu giliran untuk jatuh, mengalir dari pelupuk mata Rayn sesaat setelah ia menelaah struktur muka yang berada tepat di hadapannya saat ini. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha memperjelas apa yang ia lihat.

Sebuah harapan muncul di dalam hatinya yang tercabik-cabik. Rayn berharap, fungsi indra penglihatannya sedang bermasalah sehingga apa yang dilihatnya sekarang merupakan kesalahan.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now