:: Bab XXIX ::

363 59 2
                                    

Beruntunglah, Aksa tidak mengalami sesuatu yang serius. Kecuali bekas memar yang menghiasi bagian pipi. Sehingga paling tidak, Gwen bisa bekerja dengan tenang hari ini.

“Sering dikompres aja, ya, Mas Aksa. Biar gak membengkak.”

Gwen tersenyum mendengar sahutan Aksa dari sambungan telfon, “Terima kasih, Dokter Gwen. Oh, iya. Saya udah dipanggil ke studio rekaman, nih. Sampai ketemu besok, ya.”

“Oke, kalau begitu. Semangat, ya, Mas Aksa! Sampai ketemu di konsultasi besok.”

Ponsel baru akan Gwen simpan ke saku jas. Namun, sebuah tangan yang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya menuju sebuah gudang tak terpakai, menyebabkan aktivitasnya terhenti. Atensi Gwen pun mengarah pada pemilik tangan tersebut, yang saat ini berdiri menjulang di hadapannya.

Gwen tidak bisa memungkiri kalau ia terkejut. Tapi, ia tengah berusaha memastikan, apakah orang yang berada di hadapannya sekarang adalah orang yang kemarin memukul Aksa, atau sosok kepribadiannya yang lain.

“Kenapa ngelihatin saya kayak gitu?”

Ah, Rayn rupanya.

Gwen mendesah ketus, “Mau ngapain Mas Rayn narik saya ke sini? Bukannya Mas Rayn nyuruh saya untuk jangan pernah muncul di hadapan Mas Rayn lagi?”

“Karena gak bakal ada yang masuk ke gudang gelap kayak gini. Dan juga, saya gak ada maksud apa-apa, kecuali nanyain sesuatu sama kamu.”

Bola mata Gwen berputar malas. Punggungnya bersandar pada dinding, sementara tangannya bersedekap. Tampak acuh tak acuh menanggapi Rayn yang kelihatan sangat serius. “1 menit cukup? Saya harus ngontrol pasien.”

Kedua alis Rayn saling bertaut. Ada segelintir gelanyar tidak mengenakan mendapati Gwen bersikap seketus ini padanya. Padahal, biasanya, gadis itu akan berteriak cemas atau berbicara dengan ramah padanya.

Memikirkan perasaan itu, Rayn sampai terdiam sejenak. Yang buru-buru ia tutupi dengan dehemannya untuk memperbaiki suaranya senormal mungkin. “Kamu kenal Aksa?”

Gwen tidak bisa mencegah tubuhnya yang langsung menegak. Sorot mata dinginnya semakin tajam. “Mas Rayn mau ngapain lagi? Mau mukulin Mas Aksa lagi? Iya?”

Rayn tampak terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Gwen, “Bisa gak, sih, gak usah nuduh-nuduh orang? Saya cuma nanya.”

“Ya, terus kenapa kalau kenal?”

“Dia siapa kamu?”

“Emangnya ada urusannya sama Mas Rayn dia itu siapanya saya?”

“Kamu kenapa jutek banget gini, sih? Lagi PMS?”

“Gak enak, kan, dijutekin? Makan, tuh, PMS.”

Gwen memang tidak terima dengan sikap menyebalkan Rayn yang selalu menjadikan ia sebagai lampiasan kemarahan. Di satu sisi, Gwen pun merasa puas sebab bisa membalas Rayn dengan telak. Masa bodoh kalau pria itu mendelik marah padanya sekarang.

Ia segera menjauhi posisinya untuk keluar dari gudang. Tapi, Rayn justru menarik pundaknya dan mendorong tubuhnya ke dinding. Pria itu juga mengikis jarak yang ada, hingga Gwen bisa merasakan hembusan napas mintnya yang menerpa wajah.

Ih, apaan, sih?!”

“Saya belum selesai bicara.” Suara Rayn terdengar sangat tegas dan tidak bisa terbantahkan.

“Ya, gak usah kayak gini bisa, kan?!”

“Kamu bakal kabur kalau gak saya giniin, kan?”

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now