:: Bab LXIII ::

275 36 0
                                    

Gwen menikmati kesendiriannya sore itu bersama segelas Moccachino yang ia beli di kafe terdekat. Sungai di hadapannya tampak tenang. Hanya sesekali beriak jika ia iseng melemparkan batu kerikil ke dalamnya.

Ia mengadahkan wajah untuk meratapi pepohonan di sekitarnya yang daunnya mulai menguning. Tiap kali angin berhembus, akan ada satu daun yang jatuh. Dan akan selalu seperti itu.

Melihat pohon-pohon itu, membuat Gwen teringat tentang apa yang pernah dilaluinya di tempat ini setahun yang lalu. Salah satu waktu yang membuatnya yakin, bahwa berhenti berharap dan memulai hidup dengan kepura-puraan adalah pilihan terbaik.

Saat itu, langit sore jauh lebih gelap dari biasanya. Namun, keadaan tersebut tak meruntuhkan tekad Gwen untuk tetap bertahan di sana. Termasuk ketika rintik-rintik hujan mulai jatuh satu persatu sebelum akhirnya semakin lebat.

Gwen dengan harapan besarnya bisa bertemu Rayn, memilih untuk tetap bertahan. Ia membiarkan dirinya sendiri serta jas dokter yang ia kenakan basah kuyup. Suhu yang terasa lebih rendah cukup ampuh membuat giginya bergemeletuk kedinginan. Tapi, ia tetap tidak bergerak dari posisinya.

Berkali-kali ia melongok, ke kanan maupun ke kiri hanya untuk mencari keberadaan Rayn yang kata Edo akan datang menemuinya. Walau sejujurnya, Gwen merasa bahwa dirinya sendiri adalah orang paling konyol yang pernah ada.

Harusnya, ia tak punya alasan untuk percaya ketika seseorang bilang akan membuatnya bertemu dengan orang yang sudah meninggal. Namun, pada kenyataannya, ia sudah berada di tempat itu bahkan sejak dua jam yang lalu.

Kalau bukan karena Papanya dan Aksa yang menjemputnya ketika malam tiba, mungkin, Gwen tidak akan pernah pergi dari sana kendati petir beberapa kali menyambar langit. Dan hingga saat itu pun, orang yang dinantinya tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Semuanya sia-sia.

Edo, selaku orang yang telah mengatur itu semua pun, seketika tidak bisa dihubungi. Pria brewokan itu tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah membuat Gwen menunggu tanpa kejelasan di tengah-tengah taman yang sepi, diguyur hujan hingga tengah malam, dan dengan membawa harapan yang melambung terlalu tinggi. Seakan dia memang berniat mengerjai Gwen. Menjadikan Gwen lelucon yang bisa menghiburnya.

Ketika ingat kejadian itu, hati Gwen seperti diteguhkan. Pikirannya tercerahkan. Setiap kali mengingat bagaimana marahnya ia kala itu, Gwen akan kembali pada keputusannya. Yaitu berhenti berharap dan berkurung dibalik kata-kata 'baik-baik saja'.

Gwen tersenyum kecut. Atensinya kembali terpaku pada aliran sungai di hadapannya yang memantulkan pemandangan bukit yang kebetulan tak jauh dari sana. Gwen menikmati atmosfer ketenangan yang ada sekaligus membersihkan kepalanya yang mulai dipenuhi banyak sekali pikiran.

Hari ini, dua orang telah menyinggung hal yang cukup sensitif untuk Gwen. Sesuatu yang mestinya Gwen jadikan contoh namun terlalu sulit untuk ia terapkan di kehidupannya sendiri.

Mengambil langkah maju ke masa depan. Melupakan semua hal menyakitkan di masa lalu dan memulai hidup baru yang sesungguhnya. Itu dia hal sensitif bagi Gwen.

Bohong jika Gwen tidak mau melakukannya. Ia sangat amat ingin melakukan itu. Ia ingin bangkit dari kepura-puraannya dan berhenti berharap pada sesuatu yang terdengar mustahil. Ia ingin hidup realistis dan menjalani hidupnya seperti orang-orang pada umumnya. Ia ingin kembali menjadi Gwen yang dulu.

Namun, lagi-lagi, hati kecilnya terus berkata tidak. Sudut kosong di dalam hatinya seakan masih menunggu sang pemilik untuk kembali mengisinya. Kendati harusnya kenyataan yang ada sudah cukup untuk membuat mereka tersadar kalau pengorbanan itu sia-sia.

Gwen yang tak bisa mengelak dari kata hati kecilnya pun hanya bisa pasrah. Ia menyerahkan segala sesuatunya pada waktu dan kehendak si pembuat takdir yang menentukan kemana ia harus pergi. Gwen tak mau berusaha terlalu keras karena itu terlalu melelahkan.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now