:: Bab XLVIII ::

296 47 4
                                    

Sebagai seseorang yang tak pernah terlibat hubungan asmara dengan lelaki manapun, Gwen merasa aneh dengan dirinya sendiri. Menciduk Devon yang tengah melumat bibir Audy dengan penuh nafsu, seakan ia sedang memergoki kekasihnya selingkuh. Dan ternyata, perasaan seperti itu tidak se-sepele jika dirinya yang jadi penonton bagi teman-temannya yang tengah patah hati.

Waktu yang terus bergulir tak memberi lebih banyak kesempatan bagi Gwen hanya untuk berdiam diri. Ia lekas menarik kembali kesadarannya. Mengembalikan isi kepalanya yang sempat kosong. Lantas menarik napas panjang untuk mengisi ruang di dadanya yang dikuasai sesak.

Perhatian yang sejak tadi hanya terpatok pada eksistensi Devon, ia alihkan pada Audy yang terhuyung-huyung bangun dari atas ranjang. Gadis itu kelihatan linglung. Bau alkohol yang menguar dari tubuhnya pun memberi jawaban untuk Gwen.

"Audy, sebaiknya kamu pulang sekarang, ya," sarannya, dilengkapi satu senyum terpaksa. Ia menyambar clutch gadis tersebut, membantu merapikan dress mini-nya yang kusut, serta menyisir sejenak surainya yang panjang. Namun, Audy tak semudah itu menerima.

Dia menyentak tangan Gwen dengan kasar. Kemudian mendorongnya disertai mimik wajah ketus dan marah. "Siapa lu berani-berani nyuruh gue?! And, don't touch me!"

"Audy—"

"Ngapain, sih, lu ganggu-ganggu gue sama Rayn lagi?! Gue, tuh, tahu dari awal, kalau Rayn sama lu itu cuma main-main, doang! Dia gak serius! Dia seriusnya sama gue!"

Dari kata demi kata yang Audy loloskan dari bibirnya, terselip nada yang semakin meninggi tiap saat. Padahal, untuk menunjuk Gwen saja ia tidak bisa tepat sasaran. Apapun yang dilihatnya saat ini tampak berputar dan buram.

Meski begitu, demi mempertahankan egonya, Audy berusaha untuk tetap berdiri kokoh di atas sepatu heels sepuluh senti itu. Ia mendekati Gwen dan mendorongnya sekali lagi.

"Udah jelas kalau Rayn itu lebih milih gue dibanding lu! Ngerti?!"

Gwen yang tak menaruh peduli pada semua racauan Audy, kemudian memberi kode pada Edo. Dan dengan sigap, pria itu pun membawa Audy untuk segera keluar dari sana. Walau harus dengan paksaan.

Debum pintu yang tertutup menandakan ruangan itu sudah sepenuhnya menjadi milik Gwen dan Devon. Keheningan yang mengalahkan hingar bingar di lantai bawah, memasukkan atmosfer tidak nyaman yang memenuhi udara.

Untuk sekali lagi, Gwen menghela napas. Butuh persiapan baginya meski hanya untuk membalas tatapan Devon yang ia tahu, tidak sedetikpun berkedip setelah mendapati kehadirannya yang kelewat tiba-tiba.

"Yang mempermainkan aku di sini sebenarnya bukan Mas Rayn. Tapi... kamu, Devon."

Rendahnya suara Gwen pun memecah kesunyian. Gadis itu kembali berkata. Dengan mempertahankan sorot matanya agar tidak goyah. "Dari awal, aku tahu itu. Makannya, aku gak pernah menganggap semua perasaan kamu ke aku itu sesuatu yang serius."

Devon setia dengan bibir yang tertutup rapat. Kesempatan untuk bersuara ia hibahkan sepenuhnya pada Gwen.

"Tapi... tolong, kalau kamu emang mau main-main, berhenti di aku aja. Jangan perlakukan Audy kayak gini."

"Memangnya apa yang salah?" Devon menyahut. Begitu santainya sampai ia masih mampu menyilangkan kedua tangan di depan dada bidangnya yang tidak tertutup apapun.

Sorot mata Gwen pun berangsur-angsur bergetar, "Audy... dia cuma gadis yang naksir berat sama Mas Rayn. Jangan kamu kasih dia harapan kalau kamu cuma mau main-main sama dia. Jangan mentang-mentang kamu bisa mengendalikan badannya Mas Rayn, kamu ngelakuin itu cuma untuk kebahagiaan kamu. Apalagi, untuk nyakitin dia hanya karena dia anaknya Tommy Harsono."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon