:: Bab LXII ::

274 33 1
                                    

Angin berhembus lembut. Menggoyangkan rumput ilalang, membuat mereka tampak melambai-lambai.

Kicau burung terdengar dari langit. Mereka terbang menyusupi kumpulan awan yang berjajar serasi.

Di tengah-tengah itu semua, seorang pria berdiri sambil mengedarkan pandangan. Dia tampak menelaah. Kerutan muncul di pangkal hidungnya ketika rasa kesepian menjalar ke dalam hatinya. Ia benci perasaan semacam itu.

Hingga akhirnya, bunyi ilalang yang bergesekan mengambil alih perhatian. Derap langkah seiringan dengan berisiknya suara rumput yang diinjak. Dia lekas berbalik untuk mencari orang yang telah baik hati menemaninya di tengah kesepian ini.

“Devon…?”

“Hai, Rayn.”

Pria lain berdiri sekian langkah darinya seraya mengangkat telapak tangan. Senyum hadir di sudut bibir pria berwajah serupa dengannya itu. Rasanya, mereka seperti sedang bercermin satu sama lain.

Tanpa ragu, dia yang dipanggil ‘Rayn’ mendekat. Namun, dia yang disebut ‘Devon’ malah menolak. Menggeleng sambil mengibas-ngibaskan tangan.

“Jangan ngedeket. Lu di situ aja.”

“Kenapa?” tanya pria yang dipanggil ‘Rayn’ itu.

“Kalau lu mendekat, keputusan gue bisa goyah.”

Rayn mengernyit. Lipatan di keningnya semakin dalam. Dia kebingungan sementara Devon justru melebarkan senyuman seolah tak peduli dengan perasaan Rayn sekarang.

Devon menghirup napas dalam. Sambil menyimpan tangan ke dalam saku celana, ia dengan tenang menikmati pemandangan di hadapannya lalu bertanya, “Haruskah gue ngucapin salam perpisahan sekarang?”

“A-apa?”

“Gak usah pura-pura kaget. Gue tahu, lu pasti senang kalau gue pergi, kan?” goda Devon, tanpa melihat Rayn yang ekspresinya mengatakan hal berbeda.

“Gue udah gak pernah berpikir begitu, Devon.” Dengan gelagapan, Rayn berusaha menjelaskan, “Dulu mungkin iya. Tapi, sekarang-“

“Sst. Oke, oke. Gue ngerti, kok,” sela Devon, kini tertawa kecil. Perhatiannya lantas kembali menjurus pada Rayn yang masih menatapnya dengan binar menuntut penjelasan.

“Masa tugas gue berakhir sampai di sini, Rayn.”

Kendati ada senyum yang menemani ucapan Devon itu, anehnya, Rayn tidak bisa merasa tenang. Apa yang pria itu katakan, memancingnya untuk mendekat. Namun, Devon selalu mengambil langkah mundur seolah tak bersedia didekati.

“Gue bilang lu tetap di situ aja, Rayn.”

“Tapi, kenapa? Kenapa lu ngomong kayak gitu? Maksud lu apa?” Rayn memborbardir Devon dengan pertanyaannya.

“Karena masa tugas gue emang udah berakhir.”

“Gak— Lu ngomong apa, sih—“

“Mulai sekarang, lu harus jaga diri lu sendiri baik-baik. Jangan biarin siapapun ngelukain lu lagi, oke?”

“Devon, jangan bercanda! Gue udah bisa nerima kehadiran lu! Gue bakal—“

“Lu harus kuat, Rayn. Lu harus kuat demi ngelindungin diri lu sendiri. Mungkin, lu bisa belajar seni bela diri atau semacamnya. Pokoknya, gue gak mau, ketika gue pergi, lu malah jadi semakin lemah.”

“Lu gak akan kemana-mana, Devon!” pekik Rayn, marah.

Namun, lagi dan lagi, Devon menanggapinya dengan senyum. Menganggap kemarahan pria di hadapannya hanyalah angin lalu belaka.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now