:: Bab I ::

1.7K 132 3
                                    

"Aku akan membunuhmu…"

Matanya terbuka, membulat sempurna ketika itu juga. Nafasnya yang terdengar terengah-engah keluar bersamaan dengan peluh yang terus mengucur dari keningnya. Untuk beberapa saat, ia menyerana. Mencoba menormalkan degup jantungnya yang kelewat tidak normal.

Dengan gerakan perlahan, tangannya pun bergerak, mulai menyeka keringatnya yang ternyata juga membasahi bagian leher dan pakaian tidur yang ia kenakan. Sedikit was-was, pria itu terduduk di tepian ranjang. Menyusuri setiap sudut kamar dengan iris coklat terangnya yang sempurna. Hanya gelap yang mampu dirinya lihat kemudian.

Lantas, tangan yang basah oleh keringat itu, beralih untuk meraba meja di samping ranjangnya. Pria itu mencoba menyalakan lampu kecil yang tertata indah di atas nakas. Napasnya pun berhembus singkat, begitu merasa lega tatkala menyadari bahwa yang didengarnya barusan,  hanyalah bagian dari mimpi buruk yang kembali datang.

Langkah dari kakinya yang telah beranjak turun dari ranjang pun terlihat gontai. Menggunakan secuil tenaga yang masih tersisa, ia menurunkan kenop pintu dan keluar dari kamar. Tidak lupa juga untuk menyalakan setiap lampu agar semua ruangan yang ada di apartemen luas nan megah itu bisa tampak terang. Dan begitu matanya mampu menjangkau tiap sisi ruangan, nyatanya tidak ada siapapun di sana.

Pria itu lantas melanjutkan langkah yang sempat tertunda, mengarahkan kakinya menuju dapur. Sesampainya di sana, sebuah gelas kaca diambilnya. Air dari teko yang selalu ia letakan di atas meja makan pun, ia tuangkan ke dalam gelas bergambar seni vector dari parasnya yang rupawan.

Meneguk beberapa kali, akhirnya air yang ada di dalam gelas itu benar-benar tandas. Setidaknya ia bersyukur karena air itu berhasil membasahi kembali tenggorokannya yang sejak tadi terasa kering kerontang. Dan waktu kembali dicurinya untuk terdiam, memaksakan otak untuk memikirkan hal yang baru saja terjadi padanya.

"Kenapa kamu terdiam? Mau ditemani, ya?"

Napasnya kontan tertahan di tenggorokan. Pria itu terkejut bukan main saat bisikan yang dipikirnya telah menghilang, justru kembali terdengar. Kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri bahkan sampai memutar tubuh demi mencari tahu siapa yang baru saja membisikan pertanyaan itu di telinganya. Berpengaruh pada jantung yang detaknya terus menerus meningkat. Sedangkan bulu kuduknya lekas berdiri tegak di saat yang bersamaan.

Derap langkah yang saling beradu, menuju kamar dengan tergesa-gesa. Pintu yang tertutup dan telah dikuncinya rapat-rapat, dijadikan sandaran. Kedua kakinya yang jenjang sudah bergetar hebat, menemani tegukan salivanya yang kelewat susah.

Meski ketakutan telah menyergapnya tanpa belas kasihan, pria itu tetap memutuskan untuk berjaga-jaga. Insting waspadanya menyala, cemas semisal tiba-tiba ada sesuatu yang menyeramkan bisa masuk ke kamarnya. Padahal di satu sisi, ia sangat tahu bahwa di apartemen itu hanya ada dirinya sendirian. Dan sistem keamanan yang mumpuni, tidak akan memungkinkan sembarang orang bisa masuk ke dalam sana.

Lima menit pun berlalu, ketika ia terduduk di belakang pintu setelah terus berdiri dengan sikap siaga yang sejujurnya membuat ia lelah. Napas tersenggalnya yang masih tersisa mengantarnya untuk menjauh dari sana. Sebelum akhirnya, pria itu mendudukan tulang keringnya di tepi ranjang. Bibirnya pun mendesah pelan selagi tangannya menaikkan beberapa helai rambut yang turun dan menutupi wajah.

Ponsel yang sedari tadi tergeletak tanpa suara di atas nakas pun, dirinya raih dengan cepat. Jari jemarinya yang lentik dan panjang bergerak lincah, menekan beberapa angka yang ditampilkan pada layar. Dan begitu nomor yang dicarinya berhasil Ia temukan, benda pipih tersebut didekatkannya ke telinga.

“Bang Edo…”

“Oit? Rayn? Kenapa nelfon jam segini?”

“Gue... mimpi buruk lagi, Bang. Bisikan-bisikan itu... juga terdengar lagi.”

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now