:: Bab XLV ::

368 68 6
                                    

Grace Premier Hospital digegerkan oleh kedatangan brand ambassador terbaru mereka. Dia adalah Rayn Abrian.

Dengan mengusung tema 'No Suicide' dan 'Datang ke psikiater jika anda merasa depresi', pria itu sedang sibuk dengan pemotretan serta pembuatan video iklan di rooftop rumah sakit. Berkat aksi heroiknya yang menolong Aksa waktu itu, Rayn pun terpilih untuk menggalakan kampanye ini.

Rayn mengulas senyum terbaiknya ketika kamera mendekat. Lalu, kamera bergerak menyorot awan sebelum akhirnya sutradara menghentikan pengambilan video karena sudah dirasa cukup. Semua orang lekas bertepuk tangan atas hasil kerja Rayn.

Matahari cukup terik saat ini. Jadi, wajar bila Rayn membutuhkan Ceu Vero untuk mengipasi dirinya selagi ia melihat sendiri rekamannya tadi.

Namun, untuk beberapa saat, perhatiannya justru teralih pada pintu kaca rooftop yang tembus pandang. Di sana, ia menemukan seseorang sibuk melongok kesana kemari seperti tengah mencari sesuatu. Rayn pun tak kuasa menahan senyumnya untuk kembali tersungging.

Rayn meminta izin. Lantas sedikit berlari ke arah pintu. Nampak dengan jelas bahwa orang itu jadi gelagapan begitu mengetahui dirinya mendekat.

"Eits." Untungnya, Rayn bisa bergerak cepat. Tangannya sudah lebih dulu mencengkram pergelangan tangan orang itu hingga dia tak punya kesempatan untuk kabur.

"Kenapa gak langsung masuk?" tanya Rayn.

"K-kan, lagi pada syuting."

Gwen ingin sekali mengutuk lidahnya yang jadi tergagap seperti ini. Seandainya ia bisa berlari cepat, mungkin, ia tidak harus berdiri kikuk dengan ekspresi seperti orang yang tengah menahan sembelit.

"Udah selesai, kok." Rayn menjejalkan tangan ke saku celananya. Dia terlihat sangat santai. Tanpa tahu kalau senyum ramahnya itu memberikan efek yang tidak baik pada diri gadis di hadapannya. Lalu, dia pun bertanya lagi, "Oh, iya. Apa kita bisa ngomong sebentar?"

Tiba-tiba saja, Gwen menjadi gugup. Pikirannya berkelana terlalu cepat. Kenapa juga ia bisa memikirkan bahwa Rayn ingin membicarakan tentang masa depan mereka berdua? Atau mungkin, pria itu ingin menyatakan perasaannya?

'Lu gila, Gwen,' caci logika Gwen, pada hati kecilnya yang berharap terlalu banyak.

Gwen menggelengkan kepalanya beberapa kali. Berupaya mengusir pikiran-pikiran absurd dari kepalanya. Ia pun mengangguk kemudian.

"B-boleh."

...

Melalui tangga darurat, Gwen dan Rayn turun ke lantai 5. Keduanya sengaja tidak memakai lift untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan histeris jika melihat Rayn di sana. Jadilah mereka berjalan bersisian, menuruni satu persatu anak tangga, dalam diam.

Gwen tidak mengerti mengapa ia harus merasa se-awkward ini. Hanya saja, ia berharap bukan dirinya seorang yang merasakannya. Karena kalau benar begitu, itu berarti ada yang tidak beres dengannya.

Sudah cukup dengan degup jantungnya yang meningkat drastis. Gwen tidak mau ada lebih banyak reaksi menyebalkan dari tubuhnya hanya karena berada dekat dengan Rayn, pria yang kemarin dipeluk olehnya dan telah mencuri first kiss-nya.

Tak butuh waktu lama hingga mereka berdua berhasil duduk di dalam ruang kerja Gwen. Saling berhadapan.

Meja bundar yang menjadi penengah di antara keduanya pun menyimpan dua cangkir kertas kopi di atasnya. Gwen menggenggam cangkir miliknya selagi Rayn melekatkan tatapan padanya seraya bersuara, "Jadi, kita mulai darimana?"

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now