:: Bab LXXII ::

680 50 1
                                    

1 tahun kemudian.

"Mari kita sambut mempelai pria kita hari ini!"

Riuh tepuk tangan mengudara di tengah-tengah taman itu. Ruang terbuka hijau yang sudah didekorasi sedemikian rupa dengan berbagai macam ornamen berwarna putih.

Sepasang sepatu pantofel itu mengeluarkan bunyi yang khas ketika beradu dengan konblok yang menutupi tanah. Berbalut tuxedo hitam, pria itu berjalan dengan langkah seirama.

Jika ditelisik, sorot matanya agak bergetar. Jujur saja, ia gugup.

Namun, tiap kali ia mengingat perjuangannya untuk bisa sampai di titik ini, sorot matanya yang bergetar itu akan berganti dengan binar kebahagiaan. Ia mengangkat pandangan. Membiarkan para tamu undangan melihat wajah rupawannya yang berhias senyum lebar. Lesung pipinya pun menambah kesan manis dan sukses membuat kaum hawa yang ada di sana langsung heboh sendiri.

Pria itu mendapatkan remasan pelan di pundaknya. Dari sang MC yang menatapnya dengan senyum penuh kebanggaan.

"Siap ketemu mempelai wanita?"

Pria itu mengangguk tanpa ragu. Sang MC pun tertawa karenanya.

"Baik, selanjutnya karena mempelai pria kita yang tampan ini sudah tidak sabar menemui mempelai wanitanya, maka mari kita sambut... mempelai wanita! Berikan tepuk tangan yang meriah!"

Suara tepuk tangan kembali terdengar, bahkan jauh lebih ramai. Itu dikarenakan kemunculan sang mempelai wanita yang sukses mencuri perhatian semua orang. Termasuk mempelai pria yang langsung terdiam saking terpesonanya.

Dengan malu-malu, mempelai wanita itu pun berjalan menuju altar. Kelopak bunga mawar yang dilemparkan oleh para brides pendampingnya pun menemani setiap langkah. Ia berusaha mengatasi rasa malunya itu dengan menggenggam kuat lengan sang Papa yang justru mentertawakan dirinya.

"Cie, anak Papa banyak yang nge-fans, nih."

"Ih, Papa!"

Suara detak jantung milik mempelai pria jauh lebih kencang ketimbang sorakan tamu undangan. Dan suara dari dadanya itu semakin keras tatkala sang calon istri yang penampilannya benar-benar menakjubkan hanya tersisa beberapa langkah darinya.

Sementara itu, menyadari calon menantunya yang terkesima, Papa sang mempelai wanita lantas berceletuk, "Awas jatuh, tuh, rahang."

Semua tamu undangan kompak tertawa. Menyebabkan mempelai pria yang dijadikan objek guyonan, langsung tertunduk malu.

Lantas, tanpa berbicara kembali, Papa sang mempelai wanita akhirnya menyerahkan tangan putrinya kepada si mempelai pria. Ia terlihat tegar. Bahkan ketika menepuk-nepuk pundak mempelai pria seolah sedang berkata, "Saya titipkan anak saya ke kamu, ya. Jaga dia dengan baik, lebih dari saya menjaga dan melindunginya selama ini."

Mempelai pria itu tersenyum, mengerti. Ia menerima tangan mempelai wanita yang akan menjadi calon istrinya dengan hati-hati. Sesaat setelahnya menggenggam dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

Sepasang calon pengantin itu saling menatap satu sama lain. Kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka adalah buah dari kesabaran atas segala hal yang telah mereka lalui bersama. Sakit, luka, sedih, semua itu terbayarkan hari ini.

Meski begitu, mereka jelas sadar bahwa hari ini bukanlah akhir. Melainkan awal untuk lembar perjalanan mereka di buku baru. Buku baru yang akan mereka isi bersama-sama, hingga lembar terakhir.

"Mempelai pria atas nama Rayn Abrian, apakah anda sudah siap?"

"Siap."

"Mempelai wanita atas nama Gwen Mikaila Puri, apakah anda sudah siap?"

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang