:: Bab LIX ::

316 49 11
                                    

Duar!

Tidak satupun orang akan menduga bahwa ledakan itu bisa terdengar dari bangunan terbengkalai yang kini menjadi pusat perhatian. Keterkejutan membawa mereka lekas merunduk dan bergegas pergi. Seiring dengan kepulan asap tebal bersama sekelebat cahaya oranye kemerahan yang keluar dari pintu seukuran dua orang yang sudah usang dan seketika terkoyak.

Bagaikan hujan, serpihan bangunan jatuh dari langit. Kepulan debu memenuhi udara. Awan hitam menggerogoti bangunan, ditemani api yang perlahan tapi pasti meninggi seolah berupaya menggapai langit malam yang gelap. Kesunyian menyertai beberapa saat kemudian dengan hanya menyisakan derik jangkrik yang menciptakan debaran di dada.

Edo menurunkan telapak tangan dari atas wajah sementara satu tangannya masih merangkul Audy di dalam dekapannya yang erat. Bola matanya memantulkan pemandangan paling menakutkan yang ia pikir tak akan pernah terjadi di dalam hidupnya. Satu detik setelahnya, kesadaran yang merasuki kepala turut meremas hatinya yang kalut tak karuan.

Melihat betapa ganas si jago merah melahap tempat dimana ia tahu ada Rayn di dalamnya, Edo tak bisa mencegah syaraf refleknya yang bergerak bangkit. Di sampingnya, Audy melakukan hal serupa. Menguatkan diri untuk berpijak di atas tapak kaki yang goyah.

Hanya ada bibir yang terbuka lebar. Kemampuan berbicaranya seakaan direnggut sehingga ia tidak bisa mengatakan apapun. Ini terlalu sulit untuk dipercaya. Bagi Edo, ini mimpi buruk yang terasa terlalu nyata.

Sementara Audy, tidak mampu bertahan lebih lama. Ia tak sekuat yang dirinya kira. Belum ada lima detik, tubuhnya kembali ambruk. Pandangannya tiba-tiba menjadi gelap. Menampilkan wajah tersenyum sang Daddy, sebelum akhirnya ia benar-benar tak sadarkan diri.

Di bawah kelopak mata, sorot mata Edo diliputi kegamangan. Di saat harusnya ia mengangkat tubuh Audy dari tanah, ia justru terpaku dengan tangan bergetar dan tidak berbuat apa-apa. Kepalanya mendadak kosong. Namun, anehnya ia masih bisa mendengar suara khas Rayn menggema di telinganya.

“Bang Edo!”

Suara itu memanggilnya. Nada ceria dan jahil itu sayup-sayup membelai daun telinganya. Menciptakan rasa sedih mendalam yang begitu menyesakkan. Tanpa sadar, air mata telah menggenai pelupuk.

“Bang Edo!”

“Bang Edo!”

Kali ketiga, suara itu terdengar. Meski begitu, suara itu tidak lagi sama. Nada ceria yang memberi kesedihan pada diri Edo itu, berubah menjadi jerit kesakitan.

Edo semakin linglung. Ia hanya bisa menggumam, terus menyebut nama Rayn seakan sang pemilik nama bisa mendengarnya. Padahal kenyataannya, hal itu tidak akan mengubah keadaan.

Untuk sesaat, riuh ramai orang-orang yang panij mengisi kembali ruang hening yang mendebarkan tadi. Keramaian itu lantas mempengaruhi Edo. Ia seperti mendapatkan kembali akal sehatnya.

“R-rayn…” Edo mengerjap. Di setiap pergerakan kelopak matanya yang membuka, semakin tinggi api menjulang dan semakin besar pula kepulan asap yang menyertainya.

Satu hal yang terpikirkan oleh Edo kemudian adalah Rayn sedang dalam bahaya. Dan sangat amat tidak mungkin baginya untuk tinggal diam. ‘Adik’nya itu membutuhkan pertolongannya.

“RAYN!” pekik Edo, menyatakan kesiapannya untuk menerobos api yang menutupi jalan masuk bangunan rumah susun itu. Sungguh, ia siap mempertaruhkan nyawa demi membawa Rayn keluar dari sana.

Sayangnya, ledakan kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.

Duar!

Dorongan yang jauh lebih kuat melempar tubuh Edo yang hampir saja masuk ke dalam sana. Tak ayal, menyusul suara ledakan tersebut, asap dan api seakan berlomba menjadi siapa yang paling tinggi. Tak memperdulikan betapa banyak material yang runtuh dan berjatuhan, sampai melukai orang-orang yang tak sempat melarikan diri.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now