:: Bab XVIII ::

436 66 0
                                    

Rayn tersentak saat membuka mata. Ia menelaah keadaan di sekitarnya. Menyadarkannya bahwa ia berada di kamar tidunya sekarang.

Tentu saja itu aneh untuk Rayn. Makannya, ia segera menyambar ponselnya yang tergeletak.

Pupilnya sempat membesar saat menemukan sebuah benda yang tidak seharusnya berada di kamarnya. Sebuah benda yang tidak mungkin dimiliki oleh pria yang penakut sepertinya.

Pisau lipat.

Tapi, masa bodoh dengan itu. Rayn hanya harus segera membuka ponselnya sekarang juga. Jika memang yang terjadi sebelum ia membuka mata adalah benar seperti yang ia pikirkan, maka harusnya ada jejak tertinggal di sana.

Dan benar.

Ada sebuah rekaman video yang baru dibuat dua jam yang lalu. Lantas, meski jemarinya sedikit bergetar, Rayn memaksakan diri. Ia menyambungkan ponselnya pada perangkat TV, hingga akhirnya video tersebut terputar.

"Lu emang gak pernah, ya, gunain otak lu dengan baik. Sengaja banget mancing gue keluar."

Yang ada di video itu adalah Rayn, dan Rayn tahu itu. Namun, Rayn tidak ingat sama sekali ia membuat video tersebut. Dan adanya video itu memberi Rayn bukti tambahan, yang membuatnya berangsur-angsur percaya, kalau sosok Devon memang ada.

Devon kembali berbicara di dalam video, "Gue turutin apa mau lu. Dan kalau ini masih gak cukup buat bikin lu percaya, itu berarti lu lagi bikin diri lu capek sendiri."

Napas Rayn tercekat. Ia membalas tatapan lekat Devon seolah pria itu memang ada di hadapannya.

"Mau sekeras apapun lu menghindar dari kenyataan, lu gak akan bisa. Sebagai manusia, lu gak bisa ngerubah takdir yang udah dikasih ke lu."

"..."

"Termasuk kehadiran gue, yang gak mau lu percaya."

"..."

"Video ini gue buat karena gue kasihan sama lu. Tapi, di lain waktu, gue cuma akan melakukan apapun yang gue mau."

"Lu gak bisa."

"Lu pikir gue gak bisa? Of course gue bisa."

"Gak. Lu udah berulang kali bikin gue rugi, Devon. Dan gue gak akan biarin itu terjadi lagi."

"Gue bisa karena sikap denial lu, Rayn. Gue bisa melakukan apapun yang gue mau, selagi lu masih bertahan sama ketidakpercayaan lu itu."

"Lu itu gak ada, Devon. Lu itu cuma—"

"Lu pasti berpikir gue cuma bagian dari halusinasi lu, atau sesuatu yang diada-ada sama pria tua bangka itu. But, i don't care. Because the reality is, i'm exist, right now."

"Gak!"

"Terserah lu, Rayn. Terserah. Karena keputusan yang lu pilih sekarang, akan semakin menguntungkan buat gue."

"Gimana bisa menguntungkan lu, di saat gue belum—"

"Silahkan lu pikir sendiri, Rayn. Anak pintar yang selalu ngabisin waktu di perpustakaan buat belajar dan punya konsentrasi yang baik kayak lu, pasti bakal bisa paham dengan apa yang gue maksud."

"Gimana lu bisa—"

"Gue tebak, lu kaget karena gue tahu gimana lu. Ingat, Rayn. Gue ini kunci dari semua masa lalu lu yang hilang. Gue tahu gimana lu, jauh lebih baik dari lu mengenal diri lu sendiri."

"..."

"Apa lu gak penasaran sama masa lalu lu? Tentang kenapa lu bisa sampai kecelakaan? Tentang kenapa gak ada orang yang nyelamatin lu waktu kecil? Lu yakin gak mau cari tahu tentang itu? Lu yakin, mau tetap jadi orang bego yang gak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri, di saat orang yang dianggap cuma 'halusinasi' justru tahu segalanya?" Devon tertawa, mencibir.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now