:: Bab LII ::

318 57 2
                                    

Gwen tidak mengerti bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya. Setiap berhadapan dengan pria itu, ia kehilangan kemampuannya untuk mengutarakan apa yang tengah ia rasakan.

Kebimbangan yang merengkuh hatinya perlahan-lahan runtuh. Gwen memberanikan diri untuk mengangkat tangannya, membalas pelukan tersebut dengan sama eratnya. Wajahnya tenggelam di balik dada bidang pria itu.

"Saya menghilang terlalu lama, ya?"

"Mas Rayn...-"

Gwen tak mampu menjawab sebab suaranya kalah oleh isakan yang menyelak. Ia tidak mampu menahan isakannya lebih lama. Alhasil, tangisnya yang pecah membasahi jaket yang Rayn kenakan.

Rayn tersenyum samar. Ia meletakkan dagunya di atas pucuk kepala Gwen. Tangisan Gwen sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. Dan ia harap, tangisan itu juga berarti bahwa Gwen merasakan hal yang sama dengan yang ia rasa.

Sebelah tangan Rayn memberikan usapan lembut pada surai Gwen yang tergerai sampai punggung. Sesekali, ia juga mengusap punggung Gwen yang bergetar karena menangis, berusaha menenangkan.

Sekumpulan bunga bermekaran di hatinya sekarang. Karena, bisa kembali memeluk Gwen adalah kesempatan yang paling berharga untuknya.

Meski enggan, Rayn melepaskan pelukannya sejenak. Tangis Gwen semakin lama semakin kencang. Rengkuhan tangan gadis itu juga semakin kuat. Lama-lama, Rayn khawatir juga pada keadaan gadis itu kalau tangisannya saja sampai seperti ini.

"Kamu mau nangis terus? Nanti, muka kamu makin bengkak, loh," gurau Rayn, sembari menyeka air mata yang mengalir di pipi Gwen. Tapi, senyum lebarnya ternyata tidak bisa menular pada Gwen yang masih sesenggukan.

Rayn pun menarik kursi dan mengajak Gwen duduk di sana. Sementara ia mengambil kursi lain dan duduk di hadapan gadis itu dalam jarak yang begitu dekat.

Lutut mereka bahkan saling menempel satu sama lain. Rayn begitu sibuk menghapus jejak kesedihan di wajah Gwen serta membenahi tatanan rambutnya yang jadi berantakan. Ia tidak suka melihat Gwen menangis karena dirinya seperti ini.

"Kenapa? Kamu nangis sampai sebegininya, bukan cuma karena kangen saya, kan?"

Gwen menarik lendir hidungnya yang hampir jatuh. Ia juga menghela napas dalam-dalam demi mengontrol suara yang akan ia keluarkan.

Sejujurnya, ia pun tak menyangka reaksinya bisa sebegininya. Ia pasti nampak memalukan.

Ia pun menendang pelan tulang kering Rayn, "Apaan, sih, Mas Rayn? Gak usah ge-er."

Jawaban itu mengundang Rayn untuk tertawa. Gwen dengan wajah cemberutnya sukses menggugah hasrat Rayn untuk menggoda gadis tersebut, "Saya juga kangen kamu, kok. Banget."

"Ih, Mas Rayn!"

Rayn tergelak akibat tendangan kedua yang Gwen berikan, alih-alih meringis. Lantas, ia meraih tangan Gwen dan menggenggamnya erat. Baru kemudian, mengeluarkan satu pertanyaan yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

"Devon... bikin masalah apa aja selama saya gak ada, Gwen?"

Gwen yang tengah menikmati genggaman Rayn, sontak terdiam. Pandangan menelisik Rayn, memberikan perasaan tak nyaman untuknya yang langsung kepikiran lagi dengan sosok Devon.

Waktu terulur dikarenakan Gwen yang tak kunjung menjawab. Sementara Rayn mulai gelisah. Ia tidak bisa tidak khawatir. Berpikir kalau Devon melukai Gwen meski ia tahu bahwa sosok itu sangat menyukai Gwen.

"Gwen, jawab saya. Kamu diapain sama Devon? Kamu disakitin sama dia?"

"Mas Rayn..."

Rayn mengangguk cepat, "Kenapa, Gwen? Cerita sama saya."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang