:: Bab LI ::

350 61 23
                                    

Hari demi hari berlalu. Bergantinya hari bahkan tidak terasa untuk Edo yang sudah tiga hari ini tidak tidur hanya untuk mengikuti permintaan Devon.

Jadwal milik Rayn minggu ini sebenarnya sudah ia susun sejak sebulan yang lalu. Namun, karena Devon secara mendadak meminta semuanya diselesaikan sekaligus, Edo terpaksa memadatkan jadwal. Bahkan, menemukan celah untuk sekedar beristirahat pun, ia tidak bisa.

Edo sudah terkantuk-kantuk ketika Devon menyelesaikan pemotretan sekaligus wawancaranya dengan salah satu majalah ternama. Matanya yang memerah menilik Devon yang kelihatan tidak lelah sama sekali. Entah vitamin penambah energi macam apa yang pria itu minum.

“Habis ini kemana lagi?” tanya Devon, seraya meneguk air mineralnya. Ia pun merebut iPad dari genggaman Edo yang hampir saja menjatuhkannya. “Ayo. Kita cuma punya waktu 10 menit ke lokasi syuting itu.”

Dengan loyo, Edo mengikuti kemana Devon pergi. Jika biasanya ia yang akan menggubrak-gubrak Rayn supaya lebih bersemangat ke jadwal syuting selanjutnya, kini, posisinya seperti dibalik. Dan Edo sudah tidak peduli lagi akan hal itu.

“Bisa mati gara-gara ngantuk gue, kalau begini ceritanya.” Edo menyandarkan tubuhnya sambil mengerang malas. Sementara Devon sibuk menghafal dialog dari script yang saat ini ia pegang.

Ketidakpekaan Devon akan sindiran yang ia layangkan menyebabkan Edo memutar bola mata ke arah pria itu dengan sebal. Ia mencibir dalam diam, sebelum akhirnya bertanya dengan nada yang terkesan kesal, “Lu kenapa, sih, tiba-tiba mau semua jadwal dikelarin minggu ini? Kayak orang mau pergi ke akhirat aja, harus nyelesain semua urusan di dunia dulu.”

Devon mengangkat pandangannya. Dan reaksi itu, sesungguhnya tidak diperkirakan oleh Edo. Bagaimana pria tersebut menatapnya, membuat Edo langsung menampar bibirnya sendiri.

S-sorry, Devon. G-gue cuma asal ngomong, kok.” Lalu, ia terkekah sumbang.

Devon sekedar menggelengkan kepala. Namun, konsentrasi yang sudah terlanjur buyar, membuatnya jadi memikirkan kata-kata Edo itu.

‘Ini yang terbaik buat kita, Rayn. Gue sendiri yang bakal nganterin bajingan itu langsung ke neraka. Jadi, lu gak perlu khawatir.’

Kaki berbalut sneakers itu menginjak pedal rem perlahan begitu lampu lalu lintas yang berada tak jauh darinya menyala merah. Alhasil, mobil tersebut pun berhenti tepat dibelakang garis putih yang menjadi pembatas agar para pejalan kaki yang berjibun di trotoar memiliki tempat untuk menyebrang.

Langit agak mendung pagi ini. Dan sepertinya, keadaan itu menginspirasi penyiar radio yang suaranya memenuhi mobil untuk membuat suasana menjadi cukup mellow.

“Oke! Ada satu quotes yang bakal gue bacain pagi ini buat kalian semua. Seperti biasa, dari anonim. But, it’s oke. Jadi, quotesnya begini, ‘Sometimes, kata ‘pergi’, gak selamanya menandakan dia bakal benar-benar pergi. Tapi, akan lebih baik untuk telaah lagi perasaan kamu, sebelum kata ‘pergi’ yang dia ucapkan, bikin kamu menyesal.’.”

Tanpa sadar, Gwen menilik pada radio yang terpasang di dashboard mobilnya. Biasanya, ia tidak pernah tertarik dengan apapun yang penyiar radio katakan kecuali untuk meramaikan suasana sepanjang perjalanannya agar tidak membosankan. Akan tetapi, untuk kali ini, ia tenggelam oleh sepintas quotes yang baru saja dibacakan.

“Dan, untuk menemani kalian yang mungkin lagi dalam perjalanan ke kantor, atau lagi menjelajah warung buat nyari sarapan, atau mungkin lagi masak buat sarapan pagi ini, ini dia… Adera dengan ‘Aku Harus Pergi’!”

Seandainya bunyi klakson yang nyaring tidak meneriaki Gwen, sudah pasti ia masih terjebak dalam lamunannya sendiri. Terburu-buru ia menancapkan gas, sampai tidak memperhatikan bahwa ada seseorang yang masih menyebrang tepat di depannya.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now