:: Bab LX ::

279 49 1
                                    

Tok! Tok! Tok!

"Ya, masuk."

Terlampau fokus dengan rekam medis pasien di tangannya, Gwen teramat tak acuh pada derap jinjit dari si pengetuk pintu. Ia pikir, tidak ada orang yang masuk sampai akhirnya pekikan nyaring itu seakan mampu merobek telinganya.

"DOKTER GWEN!"

Gwen terperanjat. Mata membelalaknya mengarah pada sang pelaku yang telah membuat jantungnya berdebar kencang.

"HAI, DOKTER GWEN!"

Belum sempat meluapkan emosinya, pelukan hangat yang diberikan Ivy dan Milo secara bersama-sama sukses membungkam mulutnya. Pasrah dirinya ketika dua mantan dokter koas bimbingannya itu, memeluk tubuhnya seakan-akan ia boneka beruang hidup.

"Kalau tahu kalian yang datang, gue bakal nyuruh Suster Mela ngunci pintunya," sungut gadis gempal itu kemudian.

Milo tertawa licik, "Tapi, sayangnya Suster Mela gak ada di depan jadi kita bisa masuk ke sini tanpa gangguan."

"Gak ada di depan?"

Kini, Ivy yang mengangguk, "Sepi, kok, di depan."

Kerut halus muncul di kening Gwen. Perubahan ekspresinya cukup membuat Ivy maupun Milo terganggu. Gadis bertubuh gempal dengan surai yang dipangkas pendek itu, terlihat tidak nyaman akan ketidakhadiran Suster Mela.

Sejurus kemudian, Gwen bergerak pergi. Ia bangkit dari kursinya lalu keluar dari ruangan. Memastikan sesuatu yang sudah didengarnya. Suster Mela memang tidak ada di tempatnya sekarang.

“Kenapa, sih, Dok?” tanya Milo, kebingungan sekaligus penasaran.

Gwen tidak segera menjawab. Ia sekedar terdiam lalu menggeleng lemah, “Gak apa-apa. Gue ke bawah dulu, ya.”

“Mau ngapain, Dok?”

“Beliin kopi di mesin kopi bawah.”

“Eh, t-tapi±“

Dengan Gwen yang sudah lebih dulu pergi, menyebabkan penolakan Ivy mengambang di udara. Satu tangannya yang membawa plastik berisi 4 cup kopi dari coffee shop favorit Gwen pun, ditatap nanar olehnya dan Milo secara bersamaan.

Gwen baru saja memasukkan selembar uang lima puluh ribu ketika telinganya mendengar percakapan yang melibatkan dua orang tak jauh dari posisinya berada. Begitu menoleh, ia justru menemukan Suster Mela tengah berbicara dengan seorang pria. Dan dengan sangat cepat pria itu menyadari kehadirannya di saat Gwen bahkan belum sempat berancang-ancang untuk kabur.

“Dokter Gwen, tunggu!”

Gwen telah memaksakan dirinya untuk mengurai langkah. Tapi, sendi-sendinya seakan menolak. Berbanding terbalik dengan apa yang ia inginkan, tubuhnya justru berbalik. Pada akhirnya saling berhadapan dengan pria dengan brewok tipis yang mengelilingi dagu.

“Apa kabar, Dok?”

“Baik,” jawab Gwen, terlampau singkat. Ia memilih untuk tidak membalas tatapan pria itu secara langsung. Lebih memilih ujung sneakersnya yang sedikit kotor sebagai pusat perhatian.

“Syukurlah kalau begitu. Saya senang dengarnya.”

Tidak terlihat antusias, Gwen hanya manggut-manggut. Tidak balas menanyakan kabar, atau paling tidak menebar senyum yang dulu selalu mudah tersungging di atas bibir. Yang kini ada hanyalah gadis dingin dengan ekspresi datar seolah tak mudah tersentuh.

Lantas, Gwen berpaling pada Suster Mela. Wanita tersebut kelihatan gugup, sambil meremas tali tas bekal yang ditentengnya. Gwen yang sudah hafal dengan keberadaan benda itu, kemudian bergumam, “Ini belum waktunya makan siang, ya, Sus. Masih ada pasien yang punya jadwal konsul sama saya sampai jam 1 nanti.”

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now