:: Bab VIII ::

603 78 4
                                    

Hingar bingar musik yang berdentum kencang serta kerlap-kerlip lampu warna-warni yang hanya menyoroti beberapa titik, menyambut kehadiran Rayn beserta Edo yang dikawal oleh penjagaan ketat. Keduanya masuk ke dalam club ternama untuk para sosialita dan orang-orang kelas atas itu melalui pintu samping sehingga tidak akan ada yang mengetahui kedatangan mereka berdua. Sebuah ruangan VVIP yang berada di lantai dua pun mereka masuki, yang seketika menyebabkan semua orang di dalam ruangan langsung mengalihkan perhatiannya.

"Akhirnya, kalian datang juga," sapa seorang pria paruh baya yang penampilannya tidak mau kalah dengan kaula muda di sekitarnya. Bersama dua gelas wine yang diambilnya dari meja, ia pun menghampiri Rayn dan memberi dia segelas. Sementara Edo yang tahu kapasitasnya, hanya bisa mengalihkan pandangan.

"Thanks, Bos."

Diambil oleh Rayn gelas pemberian pria paruh baya yang dipanggilnya 'Bos' itu lengkap dengan satu sudut bibir yang terangkat. Diam-diam, ia menelisik ke segala arah, untuk menemukan pemilik acara yang sebenarnya. Dan hal tersebut nyatanya bisa langsung diketahui oleh pria di hadapannya, yang lantas terkekeh geli kemudian.

"Mencari Audy? Dia lagi ke kamar mandi. Mending, kita duduk-duduk dulu. Udah beberapa hari ini kita belum ketemu dan ngobrol lagi, loh, Rayn. Yang sampai ke saya cuma jadwal sama berita-berita kamu, doang."

Tidak menolak, Rayn membiarkan Bos Tommy, Presiden Direktur dari Tree Entertainment alias agensi tempatnya bernaung, untuk membawanya menuju sudut dimana ada sofa dan meja yang kosong di sana. Tanpa keraguan, ia mendaratkan bokongnya di sisi Bos Tommy setelahnya menyesap sedikit wine di dalam gelas. Dalam diam, ia menikmati suasana pesta yang tidak terlalu ramai seperti di luar. Bahkan, tidak ada banyak balon dan confetti warna warni, seperti acara ulang tahun putri kesayangannya Bos Tommy itu, lima tahun yang lalu. Sepertinya, waktu dan membuat dirinya tidak lagi bertemu dengan Audy, telah merubah selera gadis itu.

"Bagaimana? Kamu baik-baik saja, kan?"

Dipertanyakan seperti itu, rasanya wajar bila Rayn menautkan kedua alisnya meski hanya sedikit. Dan reaksinya tersebut untungnya bisa segera disadari Bos Tommy yang menghela napas lalu terkekeh geli, "Kamu masuk rumah sakit, dan ketemu psikiater, kan, Rayn?"

Sebenarnya, bukan hal sulit bagi Bos Tommy mengetahui tentang itu semua. Namun, tetap saja Rayn tidak kuasa menahan diri untuk tidak terkejut, yang lantas ia tutupi dengan cepat-cepat meneguk winenya. Ia memilih untuk tetap diam, dan memberi kesempatan untuk pria paruh baya itu kembali berbicara.

"Ya... saya, sih, maklum-maklum aja. Tapi, hal-hal kayak gitu yang bisa jadi bibit kehancuran untuk karir kamu, loh," ucap Bos Tommy, sembari menyilangkan kedua kakinya yang naik ke atas meja, "Tujuh tahun kamu berkarir, dirawat di rumah sakit itu wajar. Bahkan, kamu bakal dapat perhatian lebih dari orang-orang dan bukan gak mungkin untuk bawa lebih banyak keuntungan. Tapi... ke psikiater?"

Nada menggantung di akhir kalimat bertanya dari Bos Tommy membuat perasaan Rayn semakin tidak nyaman. Ia sudah tahu sedari awal kalau datang ke psikiater seperti anjuran Edo bukanlah ide yang tepat. Dan terbukti dengan ekspresi Bos Tommy yang kini menekuk bibirnya ke bawah, jari telunjuk dari kedua tangan yang berputar di sisi kepala, serta kepala yang menggeleng perlahan, "That's the worst, Rayn. Cuma orang gila yang datang ke psikiater. So, you know what I mean, right?"

Rayn pun tidak bisa berbuat banyak, kecuali mempertahankan diamnya dan menghabiskan sisa wine di gelasnya. Seperti ditarik mundur, ia langsung teringat ketika dirinya datang ke psikiater perempuan itu tempo hari. Mengabaikan Bos Tommy yang masih melanjutkan kalimat, yang intinya dia tidak suka kalau Rayn sampai datang ke psikiater karena hal tersebut hanya akan memberi imbas buruk pada karirnya.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang