:: Bab LVIII ::

280 41 2
                                    

"Berhenti, Devon! Lu gak bisa ngelanjutin ini!"

Dari tempatnya, Rayn berteriak sekencang mungkin. Suaranya lantas menggema di telinganya sendiri, hampir membuatnya putus asa karena berpikir bahwa teriakannya itu tak berpengaruh apa-apa.

Namun, tidak seperti dugaan, kenyataan berkata lain. Di atas kedua kakinya yang terasa lumpuh, ia bisa melihat sosok Devon mengerang sembari memegangi kepala.

Nampaknya, caranya berhasil.

Manik bergetarnya lantas beralih. Tubuh lemas nan tak berdaya Bos Tommy diikat di kursi dengan serangkaian rumit kabel di atas sebuah perangkat rakitan. Ada layar kecil di bagian depannya. Alhasil, kelegaan Rayn tak bisa bertahan lama.

Tanpa mencerna lebih lama, Rayn tahu bahwa adanya benda itu merupakan pertanda tak baik. Terlebih ketika ia menyadari, Devon tidak hanya menggengam senjata api di tangan kanannya. Melainkan juga mencengkram sebuah alat kontrol sederhana berhias satu buah tombol di tangan sebelah kiri.

Jakun Rayn naik turun akibat tertegun. Ketakutan yang menyelimuti hatinya merebak semakin luas. Menggigiti tulang dan memicu bulu kuduk di sekujur tubuhnya untuk berdiri.

Nyatanya, ia masih tidak mampu menenangkan diri meski telah memprediksi Devon akan menghalalkan berbagai cara demi tujuannya. Salah satunya adalah apa yang terjadi saat ini.

Ada sekian detik dimana Rayn termangu, kehilangan akal sehat. Berhasil mendapat kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi selagi Devon mengambil alih tubuhnya, tidak cukup membahagiakan bila yang harus dilihatnya ialah hal seperti ini. Rayn terperangkap oleh ketidaktahuan harus berbuat apa.

Berkali-kali mata membelalaknya mencuri lirik pada Devon. Mimik wajah sosok itu tak bisa terbaca sempurna. Dia sangat lihai menutupi apa yang dia pikirkan dengan ekspresi datar dan bibir terkatup rapat.

Namun, Rayn teramat yakin bahwa Devon tidak akan membuang waktu percuma untuk sekedar melamun. Pasti, ada sesuatu yang sedang dia rencanakan sekarang.

"Devon."

"..."

"Devon, gue tahu lu bisa dengar suara gue."

"..."

"Gue tahu, lu gak akan benar-benar ngelakuin ini."

"..."

Memang tidak ada sepatah katapun yang keluar. Pun, tak ada perubahan berlebih pada ekspresi datar yang Devon jadikan topeng.

Hanya saja, Rayn terlanjur mengetahui bahwa cengkraman kedua tangan Devon pada benda yang dibawanya, mengencang. Garis-garis urat nadi yang melintang di punggung tangannya pun menonjol dari bawah kulit.

"Lu gak sejahat itu, Devon. Gue teramat tahu seberapa baik niat lu untuk gue dan orang tua gue. Tapi, tolong jangan pakai cara kayak gini."

"Lu pikir, gue ngelakuin ini demi lu?" Devon tiba-tiba berbisik.

"Karena cuma itu alasan yang lu punya untuk bisa bertindak sampai sejauh ini. Gue benar, kan?"

Devon tidak lagi menyahut. Sementara Rayn menggunakan kesempatan itu untuk kembali bersuara, "Gue gak mau munafik kalau gue sangat amat benci sama orang itu."

Tatapan Rayn terhunus pada Bos Tommy yang bernapas lirih sambil menahan sakit. Di saat yang bersamaan, Devon juga mengangkat pandangannya. Menubrukkan konsentrasi pada satu titik yang sama dengan Rayn.

"Gue berharap dia mati, berharap dia merasakan sakit yang gue rasain atas apa yang dia lakuin ke keluarga gue. Gue berharap, gue bisa ngebunuh dia dengan tangan gue sendiri. Gue pengen dia dapat balasan yang tepat."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now