:: Bab III ::

832 88 7
                                    

“Kenapa berhenti? Jangan berhenti. Lanjutkan langkahmu, dan segera pergi dari sini kalau kamu masih ingin hidup. CEPAT!”

Perintah yang di akhiri dengan teriakan melengking serta disusul oleh bunyi berdenging, memperparah kecemasan Rayn. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sedangkan satu tangannya yang terbebas berusaha menghalau agar suara itu tidak merusak gendang telinganya. Namun, usahanya tersebut ternyata tidak menghasilkan apa-apa, selagi kakinya masih terdiam tanpa pergerakan. Yang berarti bahwa, ia harus cepat-cepat melanjutkan langkahnya sekarang juga, sebelum ada orang yang mengetahui upayanya untuk kabur diam-diam.

Alhasil, Rayn pun menyentak tangan kanannya yang dicengkram oleh gadis gempal di hadapannya itu dengan kasar. Yang saking kasarnya, sampai membuat wanita tersebut terjengkang ke belakang dan langsung mengaduh kesakitan akibat bokongnya yang mencium lantai. Lantas, meski harus membawa perasaan bersalah bersamanya, Rayn pun berlari secepat yang ia bisa. Mengerahkan seluruh tenaga yang masih ia punya untuk pergi dari sana, dan meninggalkan wanita yang sudah tidak sengaja ia tabrak dan lukai itu sendirian.

“HEY! BERHENTI! BUKANNYA KAMU HARUS MINTA MAAF DULU KARENA UDAH NABRAK SAYA?! KOK, MAIN NYELONONG AJA, SIH?!”

“O-oh! Dokter Gwen!”

Milo dan Ivy yang baru saja keluar dari ruang kerja pun, kompak berseru begitu menemukan Gwen yang sedang susah payah mendudukan diri sambil memegangi bokongnya. Derap langkah mereka menjadi pengisi suara bagi lorong yang sepi dan panjang, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan Gwen yang meringis kesakitan.

“Dokter Gwen, kenapa duduk di sini?! Kan, bangku banyak!”

Milo berteriak, antara cemas dan tidak cemas, tepat di wajah Gwen. Dan ajaibnya, malah diikuti oleh Ivy yang tidak biasanya meninggikan suara setiap kali berbicara dengan dokter seniornya itu, “Tahu, Dokter Gwen! Ini, lagi, jas-nya dikotor-kotorin gini! Nanti susah nyucinya!”

Gwen tidak mengerti, mengapa ia diharuskan membimbing dua anak ‘koas’ yang taraf menyebalkannya setara dengan setan. Entah mereka sedang bercanda atau tidak, yang jelas, Gwen tidak butuh itu sekarang. Yang ia butuhkan hanyalah uluran tangan dari kedua orang tersebut, agar setidaknya bisa membantunya berdiri karena tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi untuk saat ini. Dari bagian bokong hingga ke punggungnya terus menerus berdenyut nyeri, akibat terjatuh tanpa persiapan yang memadai.

Ya, Gwen, kan, bukan cenayang yang bisa memperkirakan kapan dirinya akan jatuh atau tidak.

Namun, apa yang diharapkan justru tidak jadi kenyataan. Kedua orang itu malah hanya memperhatikannya dengan tatapan nanar, seolah-olah mereka ikut berbelasungkawa atas jatuhnya Gwen sekarang. Mereka tidak sedikit pun bergerak untuk mengulurkan membantu gadis gempal di hadapan mereka, dan diam terpaku layaknya patung tidak berguna.

“YAAAAAAA!”

Akhirnya, teriakan maut dari seorang Gwen Mikaila Puri yang biasanya hanya lolos dalam kondisi-kondisi genting tertentu pun, berhasil memekakan telinga Milo dan Ivy yang langsung bergidik ngeri. Seperti orang yang baru saja melihat setan berteriak, mereka gemetaran, takut setengah mati. Keduanya membutuhkan waktu beberapa saat, ya… sekiranya sampai Gwen melototkan mata kepada mereka, sampai mereka berhasil tersadar, bahwa tidak seharusnya mereka hanya berdiam diri. Memandangi Gwen yang terjatuh seperti sedang menonton televisi.

“M-maaf, Dokter Gwen!” ucap mereka, dengan tergagap. Sigap, Milo langsung merangkul tubuh Gwen yang gempal agar bisa berdiri, lantas memapahnya selagi gadis tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan bokong dan punggung yang nyeri. Sementara Ivy buru-buru merapikan dan membersihkan jas dokter yang Gwen kenakan dari debu-debu serta kotoran-kotoran yang menempel. Termasuk juga berusaha membersihkan noda cipratan kopi pada jas tersebut menggunakan sebilah tisu bekas miliknya.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang