:: Bab XVII ::

461 59 4
                                    

Rayn tidak sedikitpun mengoreksi kata-katanya. Ia tidak juga memikirkan pendapat Edo atas perintahnya. Ia hanya melakukan, apa yang menurutnya benar.

Hari sudah menjelang pagi saat Rayn memaksa sutradara agar bisa membabat habis seluruh scene bagiannya yang tertinggal. Dua hari tidak keluar dari apartemen, ternyata pekerjaannya menumpuk semakin banyak. Dan kini, ia sedang mengambil gambar untuk sisa episode terakhir drama seriesnya yang nyatanya mendapat rating tinggi.

"Ok, CUT!"

Rayn berterima kasih pada semua crew yang telah bekerja keras. Ia pun segera keluar dari set dan menghampiri tempat duduknya. Edo mengekor sambil menyerahkan sebotol air mineral. Dan Ceu Vero —stylish-nya— mengekor sambil sibuk mengipasi keringatnya yang bercucuran.

Syuting memang berjalan lancar hingga akhir. Tapi, terlihat bagaimana letihnya semua orang saat ini. Terkecuali Rayn yang menegak habis airnya, kemudian bertanya, "Habis ini jadwalnya apa lagi, Bang?"

Edo menganga, "Lu masih nanya jadwalnya apa lagi? Lu gak capek?"

Telapak tangan Rayn terangkat. Secara halus meminta Ceu Vero untuk menghentikan pekerjaannya.

Pria melambai tersebut pun pergi kemudian dengan langkahnya yang lunglai. Sehingga Rayn bisa leluasa menjawab, "Lu gak lupa, kan, apa yang gue bilang waktu itu?"

"Ya, ingat, Rayn. Cuma... emangnya lu gak mau istirahat dulu gitu? Si Devon juga gak bakal tiba-tiba muncul karena lu diam aja, kan?" Edo mendesah malas.

Rayn kemudian menyambar ponsel dan membawa jilidan script miliknya, "Kalau emang gak ada jadwal apa-apa, gue jogging dulu kalau gitu."

"Jogging?! Jam setengah 3 pagi?!"

Tanpa mau menghiraukan pekikan Edo, Rayn masuk ke dalam van sesaat setelah berpamitan dengan sutradara dan para crew. Telinganya tersumpal earphone, begitu posisi duduknya terasa lebih nyaman. 'Underground' dari My First Story pun mengalun, menemani jari jemarinya yang menggulir media sosial. Menghalau protes Edo yang pada akhirnya hanya mampu mendengus kesal —dan lelah—.

...

Mungkin, hanya ada 1 dari sekian puluh orang yang memilih untuk jogging pagi buta. Dan 1 orang tersebut adalah Rayn, yang telah memutari taman tersebut sebanyak 20 kali.

Napas terengah-engahnya bersambut dengan dinginnya angin. Hanya ada bunyi jangkrik serta gesekan ranting pohon yang menemani. Serta lampu taman yang menerangi satu demi satu pijakan kakinya.

Keringat mengalir bebas melalui pelipis Rayn. Sebagian rambutnya pun sudah basah, termasuk tubuhnya yang mandi keringat. Berkat taman yang sepi —dan mungkin cuma dia yang ada di sana—, Rayn bisa olahraga dengan bebas tanpa harus mengenakan atribut penyamarannya yang memuakkan.

Rayn lantas membasuh wajahnya menggunakan air mineral yang ia bawa. Menghantarkan kesegaran yang meresap ke pori-pori wajah.

Berangsur-angsur, napas Rayn mulai teratur. Ia pun duduk di rerumputan, seraya mencuci mata memandangi sungai di sebelah taman yang airnya mengalir deras menerjang bebatuan alam.

Gemericik dari air menyambar telinga Rayn. Panjang napasnya terhela saat memikirkan bagaimana rasanya menjadi air yang jalan hidupnya hanya mengalir tanpa tahu arah.

Tidak. Suasana melankolis ini bukan berarti ia sedang meratapi hidupnya yang tanpa tujuan. Sedari awal, ia sudah tahu tujuan hidupnya. Yaitu menghasilkan uang sebanyak mungkin dan hidup dengan enak.

Jika saja tidak ada Bos Tommy saat itu, mungkin nasib Rayn sama saja dengan air sungai di hadapannya. Berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas, dan hanya pasrah pada takdir yang entah akan kemana membawanya.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now