:: Bab XLIX ::

285 49 1
                                    

Gwen baru saja sampai di persimpangan komplek menuju rumahnya ketika ia mendapati seseorang berdiri tepat di depan gerbang. Otomatis, ia menghentikan mobilnya meski keadaannya ia berada di tengah-tengah jalanan.

Seperti menyadari kehadirannya, orang itu pun berpaling. Dengan tubuh yang sepenuhnya mengarah pada Gwen, orang itu lantas menurunkan kupluk jaket yang menutupi kepala.

Gwen tidak bergerak sedikitpun. Sekedar membiarkan orang itu yang berjalan menghampirinya.

Iris coklat terang milik orang itu memandangi wajah Gwen lekat-lekat. Memberikan gelanyar aneh di hati Gwen, yang tak seharusnya ia rasakan -lagi-.

Gwen pun membuang pandangan. Menjadikan ujung sneakersnya objek paling menarik untuk dipandang. "Kamu ngapain di sini?"

"Kamu udah makan malam?"

"Kalau gak ada urusan yang penting, aku duluan. Selamat malam."

Devon dengan cepat menyambar tangan Gwen. Ia tidak membiarkan gadis itu masuk kembali ke dalam mobilnya.

Kendati respon dingin Gwen cukup menyentil hatinya, Devon enggan mengiyakan apa yang gadis itu katakan begitu saja. Setidaknya, ia harus memuaskan diri untuk mengabadikan wajah Gwen di dalam lemari ingatannya.

"Jangan lupa makan malam, ya. Kayaknya, Papa kamu masak sesuatu yang enak. Aku bisa nyium baunya dari sini."

"Lepas, Devon."

"Sebaiknya, kamu jangan terlalu sering pulang malam kayak gini. Pulang lebih cepat biar gak kena macet di jalan."

"Lepasin atau aku teriak?"

"Aku belum bisa jenguk Bu Ani. Tapi, bakal aku usahain sebelum aku pergi nanti," tutur Devon, setelahnya melepaskan tangan Gwen secara sukarela. Yang didapatinya kemudian adalah helaan napas dari gadis itu. "Terserah."

Gwen pun membuka pintu mobilnya. Ia baru akan beranjak masuk. Namun sayangnya, ucapan Devon menghentikan setiap pergerakan dari tubuhnya.

"Aku akan tetap ngelakuin itu, Gwen."

Tanpa sadar, Gwen meremas kenop pintu mobilnya sendiri. Walau ia sudah mempersiapkan diri untuk tidak kaget, tapi, sebagian dari dirinya yang terus menerus berharap tetap saja terkejut. Ketegasan yang terselip dari ucapan Devon, meruntuhkan harapan terakhir yang ia punya.

Gwen pun melempar pandangan sinis ke arah Devon, "Lalu, apa yang harus aku perbuat?"

"Aku pikir kamu harus tahu."

"Sayangnya, aku gak mau tahu dan gak mau peduli lagi, Devon."

"Kamu gak akan ngelarang aku?"

"Aku udah ngelakuin itu dua kali. Dan kalaupun aku ngelakuin itu lagi sekarang, tetap gak akan merubah keputusan kamu, kan?" tebak Gwen, ditemani suaranya parau.

"Bukan gak mungkin kalau aku akan berubah pikiran setelah kamu ngelarang aku lagi sekarang."

Gwen mendengus, dan tawa sumbangnya pun menyusul, "Kenapa kamu jadi plin-plan begini? Bukannya kemarin kamu sangat berambisi untuk bikin Tommy Harsono menderita? Silahkan, aku udah gak peduli lagi, Devon. Cepat selesaikan semuanya lalu pergi. Lakuin apapun yang kamu mau."

Kaki Gwen menjejaki bagian dalam mobilnya dan ia mendorotkan bokongnya di atas kursi pengemudi. Namun, pintu tak sempat ia tutup sebab Devon sudah lebih dulu menahannya agar tetap terbuka.

Tak lama, pria itu menarik telapak tangannya dan meletakkan sesuatu di sana. Sebuah gantungan tas squishy berbentuk bunga matahari.

"Benda ini... udah banyak ngebantu aku sama Rayn."

Heal Me [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now