Fifty Seven

64.4K 2.8K 172
                                    

Rio berjalan cepat dan sedikit berlari menuju ruangannya setelah melakukan operasi. Ia lupa jika hari ini ada operasi yang mengharuskannya sedikit lembur.

Rio membuka pintu ruangannya lalu mengambil barang pentingnya yang ia simpan di laci mejanya. Ia sedikit terburu-buru karena ia sudah menyiapkan acara besar untuk Vania yang tentunya tak ingin ia lewatkan sedikitpun.

"Sial!" umpat Rio tak sengaja menjatuhkan ponselnya. Rio mengambilnya lalu menyimpannya dalam saku celana sebelum ia berlari ke arah parkiran. Beberapa orang yang ia kenal menyapa ketika mereka melewatinya dan hanya dibalas senyuman kecil olehnya.

Rio membuka pintu mobilnya lalu meletakkan tasnya di bangku penumpang  samping kemudi. Ia menghembuskan napas dalam sebelum menyalakan mobilnya.

Rio lebih dulu pulang ke rumah untuk menyegarkan badannya sebelum berangkat ke Bogor. Beberapa kali ponselnya bergetar menandakan banyaknya pesan yang masuk. Ia tahu jika ini dari orang-orang terlibat dalam kejutannya.

Rio sudah bersiap diri dengan kemeja berwarna merah dan celana kain berwarna krem. Ia memang sengaja memilih baju ini agar nantinya sama dengan warna gamis yang Vania pakai.

"Jam lima lebih" gumam Rio melihat ke arah jam tangannya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan 80 km/jam karena ia tak ingin melewatkan acaranya.

Hujan deras turun saat ia mulai masuk tol. Ia sedikit mengurangi kecepatannya karena jarak pandangnya mulai berkurang akibat hujan deras. Ia kembali melihat ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul enam sore.

Baru saja ia menambah kecepatannya, ia melihat mobil yang tepat di depannya menabrak dan berhenti mendadak membuat Rio spontan menginjak remnya dengan membanting stir ke kanan untuk menghindarinya. Nyatanya ia terlambat menginjak pedal remnya membuat mobilnya oleng dan menabrak pembatas jalan.

Hantaman kuat terasa dari belakang mobilnya membuat dirinya terguncang hebat karena mobil terguling. Rio membuka matanya perlahan melihat posisi dirinya yang begitu dekat dengan aspal jalanan.

Rasa nyeri terasa di sekujur tubuhnya dan tubuhnya begitu lemas, "Vania" gumam Rio pelan sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.

Di lain tempat, Vania yang mendengar perkataan Arham sontak memintanya untuk mengantarkannya ke rumah sakit yang menangani semua korban kecelakaan. Arham menyetujuinya lalu membawa Vania masuk ke dalam mobilnya.

Semua keluarga juga langsung syok mendengar hal itu terutama mama Rio yang langsung jatuh tak sadarkan diri. Vania terus memanjatkan doanya sembari terisak mendoakan keselamatan suaminya.

Setelah kurang lebih satu jam, Arham dan Vania sampai di rumah sakit yang mereka tuju. Vania langsung berlari setelah turun dari mobil ke arah meja pendataan.

"Maaf, ada yang namanya Rio korban kecelakaan di tol?" tanya Vania tergesa-gesa. Arham sendiri berdiri tepat di samping Vania.

"Sebentar ya, Bu" pinta perempuan itu lalu mengeceknya.

"Maaf, Bu. Bapak Rio sepuluh menit yang lalu sudah dinyatakan meninggal oleh dokter dan sekarang ada di kamar jenazah" Bagai petir di siang bolong, Vania terpaku dengan tatapan kosongnya lalu bersimpuh di lantai dengan badannya yang langsung lemas seketika. Jantungnya terasa berhenti berdetak mendengar informasi yang baru ia dengar.

Arham yang melihat sepupunya tak berdaya langsung bertanya kembali untuk memastikan dan jawabannya tetap sama. Arham berbalik lalu berdiri di depan Vania. Ia bersimpuh dan melihat tatapan kosong sepupunya. Sontak ia langsung memeluk Vania erat mencoba menenangkannya, "Menangislah, Van" pinta Arham pelan seraya menepuk punggung Vania.

Vania langsung terisak dan menangis dalam pelukan Arham. Tangisan pilu Vania terasa meremas kuat ulu hatinya yang membuat Arham juga sampai menitikan air matanya.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now