Twenty Seven

42.4K 2.7K 355
                                    

Vino dan mamanya hanya bisa terdiam mendengar semua cerita dari Vania. Vania sendiri tertunduk pasrah jika Vino dan mamanya akan membencinya setelah ini.

Wajar saja jika mereka akan membencinya karena apa yang telah diperbuatnya menyalahi aturan dalam berumahtangga.

"Saya juga mau pamit....."

"Pamit ke mana? Kamu di sini saja selama yang kamu mau" potong Vino cepat membuat Vania menegakkan kepalanya.

"Benar yang dikatakan Vino, kamu mau pergi kemana? Kamu tinggal saja di sini. Mama bakal seneng punya teman di rumah kalo Vino lagi kerja" tambah Mama Vino membuat Vania memandang tak percaya. Ia kira Vino dan mamanya langsung mengusirnya dari sini.

Andai saja orangtuanya maupun Rio memberi tanggapan yang sama seperti Vino dan mamanya, mungkin dia tidak akan seperti ini.

Vania tersenyum haru ketika Mama Vino memeluknya seraya menepuk punggungnya pelan, "Kamu sudah Mama anggap seperti anak Mama sendiri, jadi jangan sungkan" ucap Mama Vino pelan. Vania tersenyum dan menganggukkan kepalanya cepat.

Vino yang melihatnya hanya bisa tersenyum. Tapi ia sudah berjanji dalam hatinya bahwa ia akan membalas semua orang yang telah membuat wanita yang dicintainya menangis seperti ini.

Rio hanya bisa diam mendengar omelan wanita yang di hadapannya sekarang. Sudah tiga puluh menit dia hanya bisa mendengarkan tanpa ada niat untuk meladeninya.

"Lo kok goblok banget sih, Yo. Ngapain lo pakek ceraiin Vania segala. Nggak mungkin juga Vania ngelakuin itu tanpa sebab" hardik wanita di depannya dengan nada kesalnya.

Rio menghela napas dalam lalu menatap wanita itu dengan serius, "Lo nggak tau bagaimana cerita sebenarnya, Nad. Lo kira gue ceraiin Vania itu mudah? Hah" balas Rio tak kalah tegasnya.

"Gue tersiksa, Nad. Gue tersiksa. Sangat tersiksa. Lo hanya denger gosip di rumah sakit entah itu benar atau tidaknya, tapi lo langsung nyalahin gue. Lo tau sendiri kan bagaimana rasanya diselingkuhi" lanjutnya memukul telak Nadia.

Nadia terdiam menatap Rio yang sepertinya sudah pasrah dengan keadaannya. Ia sedikit terkejut mendengar gosip bahwa sahabatnya menceraikan istrinya.

Padahal ia ingin membagikan kabar bahagia jika perceraian disetujui oleh pengadilan walaupun harus menunggu dirinya melahirkan terlebih dahulu.

"Lalu anak koas lo gimana?" tanya Nadia pelan.

"Gue langsung ke univ nya dan minta pembatalan buat dia tapi pihak sananya nggak mau ya gimana? Dari awal memang kan pihak rumah sakit yang menyetujuinya. Terpaksa" jelas Rio seraya menghembuskan napas pasrah.

Nadia menganggukkan kepalanya mengerti, "Terus sekarang Vania sekarang ada di mana?" tanya Nadia penasaran.

Rio mengendikkan bahunya tak mengerti, "Mungkin di rumah" jawab Rio santai.

Nadia menganga tak percaya, "Heh inget dia masih tanggungjawab lo! Kok lo kayak santai gitu. Kalau Vania kenapa-kenapa gimana?" sungut Nadia menaikkan nada bicaranya.

"Katanya cinta setengah mati kok lo kayak gini. Namanya bukan cinta setengah mati tapi cinta setengah hati" lanjut Nadia seraya menunjuk wajah Rio kesal.

Rio terdiam mendengarkan perkataan Nadia. Dalam hati ia membenarkan, bagaimana bisa dia langsung lepas tangan sedangkan hakim belum memutuskan.

Rio berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya terburu-buru meninggalkan Nadia yang menatapnya kesal. Selalu saja seperti ini, meninggalkan orang seenaknya.

"Untung gue nggak jadi jodoh lo, Yo" gumam Nadia seraya menatap punggung Rio yang semakin menjauh.

Vino mengedarkan pandangannya mencari bunyi dering ponsel. Ia melihat ponsel Vania yang masih tergeletak di ruang kekuarga. Ia melangkahkan kakinya dan melihat siapa yang menelpon malam-malam seperti ini.

OUR LOVEWo Geschichten leben. Entdecke jetzt