Thirty Seven

41.3K 2.8K 180
                                    

Vania melihat bola yang berhenti mengenai kursi rodanya. Saat ia akan mengambil bola itu, tangan kecil lebih dulu mendahuluinya menyentuh bola.

Vania perlahan mengangkat kepalanya menatap wajah Arka begitu dekat di hadapannya. Ia hanya bisa membeku menahan air matanya sedangkan Arka mencoba memperfokus pandangannya ke arah perempuan yang memakai masker dan kacamata di depannya.

"Mama" gumam Arka seraya tersenyum kecil.

-----------

Vania membeku tak bisa berucap satu kata pun dan hanya bisa menatap wajah Arka. Ia tak salah kan jika Arka mengucapkan kata 'Mama' padanya?

Lamunan Vania seketika buyar mendengar derap langkah yang mendekat ke arahnya. Ia langsung menundukkan wajahnya agar tak ada yang mengetahui penyamarannya.

"Arka, ayo pulang! Papa udah jemput" ajak Nadia seraya menarik tangan Arka agar berdiri. Napas Vania tercekat mendengar perkataan Nadia.

"Kak Rio ada di sini" batin Vania dengan detak jantung semakin cepat.

"Papa jemput, Ma?" tanya Arka dengan nada senangnya dan diangguki oleh Nadia. Vania mengernyitkan dahinya mencoba fokus pada panggilan Arka pada Nadia.

"Mama? Berarti Kak Rio..." batin Vania menebak.

"Yaudah, ayo!" ajak Nadia seraya menggandeng tangan Arka. Nadia mengalihkan pandangannya ke arah wanita paruh baya dan mungkin anaknya yang duduk di kursi roda di sampingnya tapi ia sedikit aneh karena perempuan itu terus menundukkan wajahnya.

Nadia mengenyah pemikiran negatif melewati pikirannya lalu tersenyum kecil, "Mari, Ibu. Saya duluan" pamit Nadia dengan nada sopannya dan diangguki kaku oleh Mama Vino, sedangkan Vania menguatkan genggamannya pada rok yang dikenakannya.

Setelah derap langkah itu semakin menjauh, perlahan Vania mengangkat wajahnya melihat kepergian Arka dan anak perempuan yang digandeng oleh Nadia dengan tatapan nanar. Andai saja tiga tahun lalu ia tak membuat masalah, pasti ia bisa menggenggam tangan Arka sekarang.

Tak sadar Vania meneteskan air matanya. Mama Vino yang melihat Vania bersedih hanya bisa menepuk bahu Vania menenangkan. Vania mengalihkan pandangannya ketika merasakan tangan kecil yang menggenggam jarinya.

Ia tersenyum lalu mengangkat tubuh Alina ke pangkuannya. Mungkin Alina merasakan kesedihan mamanya.

Vania mencium puncak kepala Alina sembari memeluknya erat. Ia hanya memiliki satu harta terindah, yaitu Alina yang ada di pangkuannya sekarang.

"Ayo pergi, Ma!" pinta Vania dan diangguki Mama Vino. Mama Vino mendorong kursi roda Vania menuju parkiran.

Sesampainya di rumah, Arka langsung berlari ke arah kamarnya tanpa mengindahkan panggilan oma dan opanya. Ia ingin memastikan apa yang tadi ia lihat.

Arka mengambil buku yang ada di rak bukunya lalu duduk di lantai. Ia membuka bukunya dan menemukan foto mamanya. Ia memfokuskan pandangannya ke arah mata mamanya.

"Matanya sama" gumam Arka seraya tersenyum. Ia begitu yakin jika tadi adalah mamanya. Memang Arka memiliki kemampuan untuk mengingat di atas rata-rata anak lainnya.

Arka menutup bukunya ketika mendengar pintu kamar terbuka. Rio yang melihat Arka duduk di lantai hanya bisa tersenyum, "Ada apa?" tanya Rio yang melihat sedikit wajah tegang Arka.

Arka menggelengkan kepalanya, "Tidak, tidak apa-apa" elak Arka. Rio menganggukkan kepalanya mengerti. Ia pun melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi untuk menyegarkan dirinya sehabis bekerja.

Setelah memastikan papanya sudah menutup pintu kamar mandi, Arka mengeluarkan buku yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Arka berdiri dan meletakkan buku itu di tempatnya.

OUR LOVEWhere stories live. Discover now