Twelve

45K 2.6K 49
                                    

Rio membuka pintu ruangannya membuat semua anak koas yang dibimbingnya langsung memandang ke arahnya. Wajah lelahnya mungkin membuat mereka bertanya-tanya. Memang kemarin ia tak tidur sama sekali menemani Arka yang sedikit rewel karena mengeluh kepalanya sakit.

Rio menghela napas dalam berusaha untuk fokus pada pekerjaannya. Ia tak mungkin bisa meninggalkan tugasnya hanya untuk menemani puteranya sedangkan papanya sudah siap siaga di samping Arka.

Ia takut jika Arka mengalami hal yang tak diinginkan karena benturan pada usia seperti itu bisa saja berakibat fatal apalagi Arka adalah anak satu-satunya yang dia miliki saat ini.

Vania sendiri menunggu cemas di depan ruang pemeriksaan ditemani oleh mertuanya. Ia sangat bersyukur mempunyai mertua seperti orangtua Rio. Mereka sama sekali tak menyalahkannya atas kelalaiannya menjaga Arka.

"Kamu tau, Van? Rio juga pernah seperti Arka" ucap Mama mertuanya seraya menggenggam tangan kanannya.

Vania mengalihkan pandangannya seraya mengernyitkan dahinya bingung, "Maksudnya?"

"Dulu sekitar usia sebelas bulan Rio sudah bisa berjalan sendiri ya walaupun masih sedikit belum imbang. Saat itu Mama ajak dia ke taman komplek dan di sana dia bertemu seorang gadis kecil yang rambutnya di kepang dua. Kamu tau apa yang dia katakan?" tanya Mamanya dan hanya dibalas gelengan oleh Vania.

"Dia bilang rambut gadis itu kayak kambing" ucap Mama Rio membuat Vania terkekeh pelan.

"Dia lalu deketin gadis itu dan menarik kedua kepangannya dan buat gadis itu marah. Mereka saling tarik-menarik. Mama dan mama gadis itu sudah berusaha memisahkan mereka. Emang dasar Rio yang keras kepala ya akhirnya dia kalah karena emang gadis itu lebih besar darinya dan akibatnya dia terdorong lalu kepalanya terbentur sudut bangku taman sampai kepalanya berdarah sama seperti Arka" jelas Mama Rio.

"Mama ketakutan dan langsung gendong Rio saat itu. Untung mama gadis itu bawa mobil jadi langsung bisa dibawa ke rumah sakit. Papa Rio juga saat itu marah besar tahu soal itu tapi alhamdulillah kepala Rio tak apa-apa hanya perlu sedikit jahitan. Jadi, jangan khawatir, Arka pasti baik-baik saja" lanjutnya membuat Vania tersenyum kecil.

Cerita mama mertuanya membuat Vania bisa sedikit menghilangkan rasa takutnya. Ia harus yakin jika puteranya akan baik-baik saja.

Setelah Arka keluar dari ruang pemeriksaan, Vania langsung menggendong anaknya seraya mencium pipi gembul Arka. Arka tersenyum manis seperti biasa seperti tak terjadi apa-apa.

Vania terus menciumi pipi puteranya tak peduli apa yang dikatakan dokter pada mertuanya.

Vania mengalihkan pandangannya mendengar derap langkah seseorang yang mendekatinya. Ia hanya tersenyum miris melihat suaminya yang hanya melewatinya tanpa menatapnya sama sekali.

"Gimana hasil pemeriksaannya?" tanya Rio pada orangtuanya.

"Sebentar lagi" jawab Papa Rio.

"Pa" panggil Arka membuat Rio langsung mengalihkan pandangannya dan melihat Arka seceria biasanya.

Rio menghampiri Arka dan mengambil alih menggendong anaknya lalu mencium kening dan juga pipi Arka berkali-kali, "Pa li" keluh Arka seraya tertawa geli membuat Rio terkekeh pelan.

"Jagoan Papa udah nggak sakit lagi kan?" tanya Rio dan hanya dibalas senyuman oleh Arka.

"Jangan buat Papa khawatir lagi" ucap Rio pelan.

"Pa no is" ucap Arka seraya menyentuh pipi Rio. Ia mengatakan 'Papa no nangis' yang berarti papa jangan nangis.

Rio tersenyum mendengar kata yang terucap dari anaknya. Ia mencium pipi Arka sekali lagi dan memeluknya.

"Ini kok banyak buah?" tanya Rio seraya melepaskan pelukannya ketika baru saja masuk ke ruang perawatan Arka. Ia sedikit bingung melihat banyak parcel di ruangan ini.

"Itu tadi dari Keira, Erisa, Vino, Mbak Nadia, Kak Reynan sama istrinya dan dokter-dokter yang ada di sini" jawab Vania dan hanya dibalas anggukan kecil oleh Rio.

Suara pintu terbuka membuat Rio mengalihkan pandangannya dan melihat dokter yang menangani Arka baru saja masuk membuat Rio langsung berdiri dan berjalan mendekat.

"Gimana keadaan Arka?" tanya Rio to the point.

"Sebaiknya kita duduk dulu" ucap Dokter dan diangguki oleh Rio.

Rio sedikit takut ketika Dokter Deven membuka hasil pemeriksaannya dan memberikannya padanya.

"Arka mengalami gagar otak ringan" ucapan Dokter Deven membuat Vania terkejut, beda hal dengan Rio yang menutupi wajahnya seraya menundukkan kepalanya lama.

"Bagaimana bisa itu terjadi? Arka nggak mungkin seperti itu. Dia sehat, Dok" ucap Vania tak percaya.

"Lalu apa yang harus dilakukan?" tanya Rio membuat Dokter Deven menatapnya.

"Insyaa Allah Arka segera pulih, yang terpenting dia harus istirahat cukup dan jangan sampai ia terkena benturan lagi sampai dia dinyatakan pulih kembali" jawab Dokter Deven langsung membuat Rio mendesah pasrah seraya memejamkan matanya.

Setelah kepergian Dokter Deven, ruangan ini hanya diisi dengan keheningan. Arka sendiri sudah tertidur pulas sejak tadi sedangkan orangtua Rio baru saja pulang karena sejak kemarin mereka ikut menjaga Arka.

"Tak seharusnya anak sekecil Arka mengalami hal ini kalau bukan karena ibunya yang tak becus menjaganya" sindir Rio di akhir kalimatnya membuat Vania langsung berdiri dan menatap suaminya tajam.

"Aku minta maaf jika Arka seperti ini karenaku tapi omongan Kakak barusan tadi sangat menyakiti diriku. Memang apa saja salahku padamu, Kak? Kenapa Kakak terus saja menyalahkanku?" seru Vania mengeluarkan semua isi hatinya seraya menekan semua ucapannya.

Rio berdecih pelan, "Intropeksi dirimu sendiri" jawab Rio lalu berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya meninggalkan Vania yang masih menatapnya.

Rio mendudukkan dirinya di bangku tunggu tepat di depan ruangan Arka seraya menghela napas dalam. Entah mengapa melihat anaknya yang terbaring sakit dan menatap wajah Vania membuatnya tak bisa meredam emosinya.

Apa yang dialami Arka merupakan hal yang serius untuknya. Ia ingat bagaimana darah itu mengalir dari kepala anaknya. Ia sungguh takut kehilangan Arka, apalagi dia hanya anak satu-satunya yang ia miliki.

Di dalam ruangan, Vania beralih melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arka. Ia mengelus kepala puteranya begitu perlahan, "Maafkan Mama, Sayang" lirih Vania serata mencium puncak kepala anaknya.

Sore ini Rio memutuskan untuk pulang terlebih dahulu untuk mengambil pakaian Arka, Vania, dan juga dirinya sendiri. Mungkin membutuhkan waktu seminggu menunggu Arka pulih kembali.

"Mas Rio" panggil seorang perempuan membuat Rio yang baru saja menutup pintu mobilnya mengalihkan pandangannya.

"Ya, ada apa ya, Mbak?" tanya Rio pada Mbak Ela yang mendekat ke arahnya.

"Gimana keadaannya Arka? Lusa kemarin kok Arka bisa jatuh sampai kayak gitu?" tanya Mbak Ela.

"Arka baik-baik saja kok, Mbak. Cuman ya butuh waktu sedikit buat pemulihan" jawab Rio sedikit berbohong.

Mbak Ela mengangguk pelan, "Maaf ya, Mas. Saya belum sempat jenguk Arka soalnya Mas tau sendiri kalo saya jenguk harus bawa si Rosa" ucap Mbak Ela.

"Mbak nggak usah jenguk, didoakan saja saya sudah senang kok. Yaudah, Mbak. Saya mau masuk dulu" pamit Rio dan diangguki Mbak Ela.

Rio meletakkan dompet, ponsel, dan juga kunci mobilnya di atas nakas. Ia ingin menyegarkan dirinya dahulu sebelum kembali ke rumah sakit.

Rio mengusap kepalanya dengan handuk seraya berjalan ke arah walk in closet. Ia membuka pintu lemari mencari baju yang akan dipakainya.

Gerakannya terhenti ketika melihat satu benda di sela-sela baju istrinya. Ia tersenyum miris menatapnya sebelum kembali memilih pakaian yang cocok untuk ia pakai.

OUR LOVEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin